BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah dibuka saluran baru (kran) bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.[1]
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan akan diperjelas lagi tentang otonomi daerah ini di bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
- Apa pengertian dari otonomi daerah?
- Bagaimana sejarah otonomi daerah?
- Apa saja prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah?
- Apa tujuan otonomi daerah?
- Apa dasar hukum dan landasan teori otonomi daerah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya mampu memahami bagaimana otonomi daerah, dari makalah ini antara lain:
- Untuk memahami pengertian dari otonomi daerah.
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah adanya otonomi daerah.
- Untuk memahami prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah.
- Untuk mengetahui tujuan otonomi daerah.
- Untuk memahami dasar hukum dan landasan teori otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat,1985).
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan daerah maka dapat dikatakan bahwa daerah sudah berdaya (mampu) untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak luar dan tentunya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.[2]
Berbagai definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan dapat disimpulkan bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.[3]
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain; menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan. Dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administratif lembaga pemerintahan daerah saja, akan tetapi berlaku juga pada masyarakat (publik), badan atau lembaga swasta dalam berbagai bidang. Dengan otonomi ini terbuka kesempatan bagi pemerintah daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan dalam berbagai bidang pula.
B. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan badan perwakilan rakyat daerah. Di dalam undang-undang ini ditetapkan tiga (3) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
UU No 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintah daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua (2) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga (3) tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/ kota besar, dan desa /kota kecil. Mengacu pada ketentuan UU No 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU No. 22 Tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintah daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1957 (sebagai peraturan tunggal yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965(yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan UU No. 2 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran UU No. 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter OrBa dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25 persen dari keseluruhan isi UU tersebut.
C. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
- Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
- Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
- Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabuaten dan kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah tonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah adminstrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelebuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehuutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih menigkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun funggsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
- Pelaksanaan asas dekonsentralisasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gbernur sebagai wakil pemerintah.
- Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.[4]
Adapun prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004) :
- Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
- Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
D. Tujuan otonomi daerah
Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya, maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas pemerintahan.
Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah ini bersifat mandiri dan bebas. Pemerintah daerah bebas dan mandiri untuk membuat peraturan bagi wilayahnya. Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara dan pemerintahan pusat.
Selain tujuan diatas, masih terdapat beberapa point sebagai tujuan dari otonomi daerah. Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
- Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
- Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
- Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah.
- Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Untuk mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Para pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita semua juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam rangka tercapainya tujuan otonomi daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin dilakukan secara instan. Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan ini.[5]
E. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas. Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan. Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah, yaitu sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
- Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
- Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah, saya juga menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
F. Landasan Teori Otonomi Daerah
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah.
1. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang kami tuliskan di sini. Asas-asas tersebut sebagai berikut:
- Asas tertib penyelenggara negara
- Asas Kepentingan umum
- Asas Kepastian Hukum
- Asas keterbukaan
- Asas Profesionalitas
- Asas efisiensi
- Asas proporsionalitas
- Asas efektifitas
- Asas akuntabilitas
2. Desentralisasi
adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Sebenarnya desentralisasi adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
3. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama-tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sam. C. Dkk. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Widarta. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
A. Ubaedillah. Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
H.A.W. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Salam. D. Otonomi Daerah, dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan, 2004.
__________________
[1] H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), Cet 1, hlm.1
[2] D. Salam, Otonomi Daerah, dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, (Bandung: Djambatan, 2004), hlm. 24
[3] H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), Cet 1, hlm.76
[4] A. Ubaedillah. Dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm.141-144
[5] Widarta, Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 37-38
[6] C.Sam. Dkk, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 56-59.
Baca juga: Karya Tulis