Makalah

Makalah Asas, Prinsip dan Landasan Bimbingan Konseling

BAB I 
PENDAHULUAN 
 
A. Latar Belakang 
  Bimbingan dan Konseling merupakan pekerjaan pelayanan yang professional, yang menguraikan pemahaman, penanganan dan penyikapan tentang keadaan seseorang yang meliputi unsur kognisi, afeksi, dan psikomotori. Pekerjaan ini sangat penting sekali dalam dunia pendidikan, agar tercipta keserasian atau keharmonisan antara guru dengan siswa. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 dan 6: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 
    Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas” dan dasar atau disebut landasan. Asas-asas bimbingan dan konseling adalah merupakan rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing/konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling. Asas-asas tersebut adalah sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas dan landasan tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali. 
 
B. Rumusan Masalah 
  1. Jelaskan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling? 
  2. Apa saja dan uraikan asas-asas bimbingan dan konseling? 
  3. Jelaskan tentang landasan bimbingan dan konseling? 
C. Tujuan Penulisan 
     Untuk mengetahui tentang: 
  1. Prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. 
  2. Asas-asas bimbingan dan konseling. 
  3. Landasan bimbingan dan konseling. 
BAB II 
PEMBAHASAN 
 
A. Prinsip-Prinsip Bimbingan Konseling 
   Dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut dijadikan pedoman dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Maknanya apabila bimbingan dan konseling dilaksanakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, berarti bukan bimbingan dan konseling dalam arti yang sebenarnya. Berkenaan dengan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, Arifin dan Eti Kartikawati (1994) menjabarkan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling ke dalam empat bagian, yaitu: (1) prinsip-prinsip umum, (2) prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan individu (siswa), (3) prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan pembimbing, dan (4) prinsip-prinsip khusus yang berhubungan dengan organisasi dan administrasi bimbingan dan konseling. Adapun penjabaran prinsip-prinsip bimbingan dan konseling di atas adalah sebagai berikut: 
1. Prinsip-Prinsip Umum 
  • Bimbingan harus berpusat pada individu yang dibimbingnya. Antara dua individu tidak ada yang sama. Artinya tiap-tiap individu memiliki karakteristik yang berbeda. Meskipun dua orang individu memiliki masalah yang sama, tetapi bisa dipastikan bahwa faktor penyebabnya berbeda. Oleh sebab itu, ketika pembimbing memberikan bimbingan kepada seseorang (misalnya Jaka), maka semua persoalan harus digali dari Jaka. 
  • Bimbingan diarahkan kepada memberikan bantuan agar individu yang dibimbing mampu mengarahkan dirinya dan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. 
  • Pemberian bantuan disesuaikan dengan kebutuhan individu(siswa) yang dibimbing. Antara individu yang satu dengan yang lainnya berbeda. Demikian juga dalam kebutuhannya, oleh sebab itu, pembimbing harus memahami perbedaan kebutuhan tersebut agar bisa memberikan bantuan (bimbingan) sesuai kebutuhan individu. 
  • Bimbingan berkenaan dengan sikap dan tingkah individu. Bimbingan dan Konseling diberikan kepada individu dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. 
  • Pelaksanaan bimbingan dan konseling dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan yang dirasakan individu yang dibimbing. Individu atau siswa memiliki beragam kebutuhan, oleh sebab itu, dalam pemberian bantuan harus diawali dengan mengidentifikasi berbagai kebutuhan individu atau siswa yang bersangkutan. 
  • Upaya pemberian bantuan (pelayanan bimbingan dan konseling) harus dilakukan secara fleksibel (tidak kaku). Artinya harus bisa menyesuaikan dengan kondisi. 
  • Program bimbingan dan konseling harus dirumuskan sesuai dengan program pendidikan dan pembelajaran di sekolah atau madrasah yang bersangkutan. Bimbingan dan konseling di sekolah dilakukan dalam rangka mendukung implementasi program pendidikan dan pembelajaran, oleh sebab itu, rumusan programnya harus disesuaikan dan sinergi dengan program sekolah dan madrasah yang bersangkutan. 
  • Implementasi program bimbingan dan konseling harus dipimpin oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan dan konseling dan pelaksanaannya harus bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait seperti dokter, psikiater, dan pihak-pihak terkait lainnya. 
  • Untuk mengetahui hasil-hasil yang diperoleh dari upaya pelayanan bimbingan dan konseling, harus diadakan penilaian atau evaluasi secara teratur dan berkesinambungan. 
2. Prinsip-Prinsip Khusus yang Berhubungan dengan Individu (siswa) 
  • Pelayanan bimbingan dan konseling harus diberikan kepada seluruh siswa. Artinya semua siswa baik yang memiliki masalah sederhana hingga yang kompleks perlu dibantu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya tanpa memandang latar belakang suku, agama, sosial ekonomi, dan sosial budaya. 
  • Harus ada kriteria untuk mengatur prioritas pelayanan bimbingan konseling kepada individu atau siswa. Antara siswa yang satu dengan lainnya memiliki kompleksitas masalah yang berbeda. Untuk itu, masalah-masalah yang dihadapi individu dikelompokkan, selanjutnya dari masalah tersebut diurutkan masalah mana yang perlu diprioritaskan untuk dipecahkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. 
  • Program pemberian bimbingan dan konseling harus berpusat pada siswa. Sekolah atau madrasah merupakan institusi yang bertugas melayani peserta didik. Dalam konteks bimbingan dan konseling, semua programnya harus berorientasi kepada siswa. 
  • Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu yang bersangkutan beragam dan luas. Kebutuhan utama siswa di sekolah atau madrasah adalah memperoleh pendidikan dan pembelajaran. Selain kebutuhan tersebut, siswa juga memiliki kebutuhan seperti penyaluran bakat, minat, dan lain sebagainya. Berbagai kebutuhan siswa harus terpenuhi melalui bimbingan konseling. 
  • Keputusan akhir dalam proses bimbingan dan konseling dibentuk oleh individu atau siswa itu sendiri. Pembimbing atau konselor membantu siswa untuk memecahkan masalah dengan berbagai alternatif keputusan, tetapi pengambilan keputusan diserahkan kepada siswa itu sendiri. 
  • Individu atau siswa yang telah memperoleh bimbingan, harus secara berangsur-angsur dapat menolong dirinya sendiri. Pembimbing atau konselor secara langsung maupun tidak langsung harus menyadarkan individu agar ia menyadari sepenuhnya kelebihan dan kekurangan dirinya dan dari pengalaman memperoleh bimbingan, individu diharapkan dapat menolong dirinya sendiri. 
3. Prinsip Khusus yang Berhubungan dengan Pembimbing 
  • Pembimbing atau konselor harus melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sebagai pembimbing atau konselor ia juga memiliki kelemahan, dalam arti tidak semua masalah-masalah yang dihadapi individu atau siswa berada dalam kemampuan pembimbing untuk memecahkannya. Apabila ada persoalan-persoalan yang dihadapi siswa berada di luar kemampuan pembimbing untuk memecahkannya, maka pembimbing yang bersangkutan harus menyerahkannya kepada pembimbing atau pihak lain yang mengetahui. 
  • Pembimbing atau konselor di sekolah atau madrasah dipilih atas dasar kualifikasi kepribadian, pendidikan, pengalaman, dan kemampuannya. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan dunia yang membutuhkan keahlian dan persyaratan-persyaratan tertentu, oleh sebab itu, orang-orang yang akan menjadi petugas bimbingan dan konseling harus memenuhi persyaratan-persyaratan di atas. 
  • Sebagai tuntutan profesi, pembimbing atau konselor harus senantiasa berusaha mengembangkan diri dan keahliannya melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan, penataran, work shop, dan lain sebagainya. Dunia bimbingan dan konseling berkembang seiring dengan perkembangan zaman, demikian juga persoalan-persoalan yang dihadapi siswa. Agar bisa memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa sesuai kondisi, maka pembimbing atau konselor harus senantiasa meningkatkan kemampuannya. 
  • Pembimbing atau konselor hendaknya selalu mempergunakan berbagai informasi yang tersedia tentang individu atau siswa yang dibimbing beserta lingkungannya sebagai bahan untuk membantu individu siswa yang bersangkutan ke arah penyesuaian diri yang lebih baik. 
  • Pembimbing atau konselor harus menghormati dan menjaga kerahasiaan informasi tentang individu atau siswa yang dibimbingnya. Masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa adakalanya bersifat pribadi dan rahasia sehingga tidak semua orang bisa mengetahuinya. Ada kalanya siswa diam (tidak mau bicara) dan menunduk ketika diminta mengemukakan masalah yang sedang dihadapi. Sikap siswa seperti itu mungkin karena ia merasa cemas, takut, atau khawatir apabila masalahnya diketahui orang lain. Oleh karena itu, pembimbing harus memberikan jaminan bahwa masalah yang di kemukakan siswa tidak akan diketahui orang lain. 
  • Pembimbing atau konselor dalam melaksanakan tugas nya hendaknya mempergunakan berbagai metode dan teknik. Tidak semua masalah yang dihadapi siswa pemecahannya menggunakan metode yang sama. Oleh sebab itu, pembimbing harus menggunakan metode atau teknik yang berbeda sehingga proses pemberian bimbingan dan konseling tidak monoton. 
4. Prinsip yang berhubungan dengan Organisasi dan Administrasi (Manajemen) Pelayanan Bimbingan dan Konseling 
  • Bimbingan dan Konseling harus dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan. Guna mengetahui perkembangan pelaksanaan program bimbingan dan konseling dan keadaan siswa perlu dilaksanakan bimbingan dan konseling yang sistematis dan berkelanjutan. 
  • Pelaksanaan bimbingan dan konseling harus ada di kartu pribadi (cummulative record) bagi setiap siswa[1]. Kartu pribadi merupakan suatu kartu yang memuat data siswa. Apabila pembimbing akan memberikan bantuan kepada salah seorang siswa, maka terlebih dahulu harus melihat kartu pribadi siswa yang bersangkutan. 
  • Program pelayanan bimbingan dan konseling harus disusun sesuai dengan kebutuhan sekolah atau madrasah yang bersangkutan. Pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah atau madrasah adalah dalam rangka mendukung program sekolah atau madrasah yang bersangkutan. Pada hakikatnya pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah itu sendiri, karena pelayanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu program sekolah dan madrasah. Oleh sebab itu, semua program bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah harus disusun sesuai dan sinergi dengan program sekolah dan madrasah itu sendiri. 
  • Harus ada pembagian waktu antar pembimbing, sehingga masing-masing pembimbing mendapat kesempatan yang sama dalam memberikan bimbingan dan konseling. Begitu juga harus ada pembagian waktu antara pembimbing atau konselor dengan guru-guru lain, sehingga pelaksanaan bimbingan dan konseling tidak tumpang tindih dengan jadwal pelajaran. 
  • Bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam situasi individu atau kelompok sesuai dengan masalah yang dipecahkan dan metode yang dipergunakan dalam memecahkan masalah terkait. 
  • Dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, sekolah dan madrasah harus bekerja sama dengan berbagai pihak. Adakalanya masalah yang dihadapi siswa di luar pengetahuan pembimbing atau konselor di sekolah (madrasah), harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling. 
  • Kepala sekolah (madrasah) merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah (madrasah). Pembimbing atau konselor di sekolah (madrasah), dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling bertanggung jawab kepada kepala sekolah (madrasah). 
B. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling 
    Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, seharusnya ada suatu asas atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan tersebut. Atau dengan kata lain, ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Demikian pula halnya dalam kegiatan bimbingan dan konseling, ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Menurut Prayitno ada dua belas asas yang harus menjadi dasar pertimbangan dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Asas-asas bimbingan dan konseling itu adalah sebagai berikut: 
1. Asas Kerahasiaan 
  Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan dan konseling, kadang-kadang klien harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/rahasia kepada konselor. Oleh karena itu konselor harus menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari kliennya. Kerahasiaan data perlu dihargai dengan baik, karena hubungan menolong dalam bimbingan dan konseling hanya dapat berlangsung dengan baik jika data atau informasi yang dipercayakan kepada konselor atau guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya. Asas ini dikatakan asas juga sebagai asas kunci dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dengan adanya keinginan konselor/guru pembimbing untuk menyalahgunakan rahasia dan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya sehingga merugikan klien. 
  Berdasarkan apa yang dikemukakan dikemukakan di atas, maka apa yang terjadi atau isi pembicaraan konselor dan klien dalam wawancara atau konseling kerahasiaannya perlu dihargai dan dijaga. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara atau konseling, perlu disimpan dengan baik dan kerahasiaannya dijaga dengan cermat oleh konselor. 
   Asas kerahasiaan sangat sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Islam sangat dilarang seseorang menceritakan aib atau keburukan orang lain bahkan Islam mengancam bagi orang-orang yang suka membuka aib saudaranya diibaratkan seperti memakan bangkai daging saudaranya sendiri. Al-quran Surat (An Nur [24]:19) menegaskan bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang senang akan tersiarnya suatu kekejian (keburukan atau kejahatan) di tengah-tengah orang yang telah beriman, bagi mereka itu akan memperoleh siksa yang pedih di dunia dan akhirat.” 
2. Asas Kesukarelaan 
    Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan baik dari pihak pembimbing (konselor) maupun dari pihak klien (siswa). Klien (siswa) diharapkan secara sukarela, tanpa terpaksa dan tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan semua fakta, data dan segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Sebaliknya konselor atau pembimbing dalam memberikan bimbingan juga hendaknya jangan karena terpaksa. Dengan perkataan lain pembimbing atau konselor harus memberikan pelayanan bimbingan dan konseling secara ikhlas. 
   Dalam asas ini, bukan berarti konselor tidak boleh menerima jasa dari pelayanan bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan profesi, oleh sebab itu, pembimbing atau konselor tidak dilarang menerima gaji atau upah tetapi hendaknya gaji atau upah tidak menjadi tujuan. Pembimbing atau konselor tidak memberikan pelayanan bimbingan dan konseling karena terpaksa. Asas ini sangat relevan dengan ajaran Islam berkenaan dengan ikhlas. Siswa harus ikhlas (tidak terpaksa) untuk mengikuti bimbingan dan konseling dan pembimbing pun harus ikhlas memberikan bimbingan dan konseling. 
3. Asas Keterbukaan 
  Asas keterbukaan merupakan asas penting bagi konselor/guru pembimbing, karena hubungan tatap muka antara konselor dan klien merupakan pertemuan batin. Dengan adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada klien untuk membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya.[2]
   Konselor yang sukses memudahkan klien untuk membuka dirinya dan berusaha untuk mengalami lebih jauh tentang dirinya sendiri. Truax dan Carkhuff menyimpulkan bahwa “ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan klien untuk membuka diri (self exploration).” 
   Dengan demikian konselor yang dalam proses konseling membuka diri, tidak bersikap dibuat-buat atau pura-pura akan mendorong klien mengekspresikan pengalaman pribadinya. 
4. Asas Kekinian 
  Pelayanan bimbingan dan konseling harus berorientasi kepada masalah yang sedang dirasakan klien (siswa) saat ini. Artinya masalah-masalah yang ditanggulangi dalam proses bimbingan dan konseling adalah masalah-masalah yang sedang dirasakan oleh siswa; bukan masalah yang sudah lampau dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami di masa yang akan datang. Masalah yang dirasakan oleh siswa mungkin terkait dengan masa lalu dan masa yang akan datang. Dalam penanggulangan masalah siswa, masa lalu dan yang akan datang menjadi latar belakang dan latar depan masalah. 
  Asas kekinian juga mengandung makna bahwa pembimbing atau konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Apabila klien meminta bantuan atau fakta menunjukan ada siswa yang perlu bantuan (mengalami masalah), maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Sebaiknya konselor tidak menunda-nunda memberikan bantuan kepada klien (siswa). Konselor hendaklah lebih mementingkan kepentingan klien daripada yang lainnya. 
5. Asas Kemandirian 
    Kemandirian merupakan salah satu tujuan pelayanan bimbingan dan konseling. Siswa yang telah dibimbing hendaklah bisa mandiri tidak tergantung kepada orang lain dan kepada konselor. Ciri-ciri kemandirian pada siswa yang telah dibimbing adalah: (1) mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya, (2) menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamis, (3) mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri, (4) mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu, (5) mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. 
  Menentukan kemandirian dengan ciri-ciri di atas harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Kemandirian murid Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah jangan diukur dengan kemandirian siswa SMP atau MTS atau seterusnya. 
6. Asas Kegiatan 
    Pelayanan bimbingan dan konseling tidak akan memberikan hasil yang berarti apabila klien (siswa) tidak melakukan sendiri kegiatan untuk mencapai tujuan bimbingan dan konseling. Hasil usaha yang menjadi tujuan bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dicapai dengan kerja giat dari klien (siswa) itu sendiri. Guru pembimbing atau konselor harus dapat membangkitkan semangat klien (siswa) sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam proses konseling. 
    Asas ini juga bermakna bahwa masalah klien (siswa) tidak akan terpecahkan apabila siswa tidak melakukan kegiatan seperti yang dibicarakan dalam konseling. 
7. Asas Kedinamisan 
    Keberhasilan usaha pelayanan bimbingan dan konseling ditandai dengan terjadi perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik. Untuk mewujudkan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku itu membutuhkan proses dan waktu tertentu sesuai dengan kedalaman dan kerumitan masalah yang dihadapi klien. Konselor dan klien serta pihak-pihak lain diminta untuk memberikan kerja sama sepenuhnya agar pelayanan bimbingan dan konseling yang diberikan dapat dengan cepat menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah laku klien. 
8. Asas Keterpaduan 
    Pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjalin keterpaduan berbagai aspek dari individu yang dibimbing. Untuk itu konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi klien. Dalam hal ini peranan guru, orang tua dan siswa-siswa yang lain sering kali menentukan. Konselor harus pandai menjalin kerja sama yang saling mengerti dan saling membantu demi terbantunya klien yang mengalami masalah. 
9. Asas Kenormatifan 
    Pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan lingkungannya. Disadari sepenuhnya bahwa konselor akan menyertakan norma-norma yang dianutnya ke dalam hubungan konseling, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi harus dingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya kepada kliennya. Konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma dan nilai-nilai itu: bagaimana berkembangnya, bagaimana penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu terus dianut dan lain sebagainya. Pendek kata, norma dan nilai-nila itu perlu dibahas dari berbagai segi sehingga klien memiliki wawasan yang cukup luas dalam mengambil keputusan tentang norma dan nilai-nilai yang akan dianutnya. 
10.Asas Keahlian 
   Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus di didik untuk pekerjaan tersebut. Dengan perkataan lain, pelayanan bimbingan dan konseling harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian (memiliki pengetahuan dan keterampilan) tentang bimbingan dan konseling. 
  Asas keahlian juga mengacu kepada kualifikasi konselor seperti pendidikan dan pengalaman. Selain itu, seorang konselor juga harus mengetahui dan memahami secara baik teori-teori dan praktik bimbingan dan konseling. 
11.Asas Alih Tangan 
    Konselor (pembimbing) sebagai manusia, di atas kelebihannya tetap memiliki keterbatasan kemampuan. Tidak semua masalah yang dihadapi klien berada dalam kemampuan konselor (pembimbing) untuk memecahkannya. Apabila konselor telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk memecahkan masalah klien, tetapi belum berhasil, maka konselor yang bersangkutan harus memindahkan tanggung jawab pemberian bimbingan dan konseling kepada pembimbing atau konselor lain atau kepada orang lain yang lebih mengetahui. Dengan perkataan lain, apabila konselor telah mengerahkan segenap kemampuan untuk membantu klien (siswa), tetapi siswa yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim siswa yang bersangkutan kepada petugas atau badan lain yang lebih ahli. 
  Asas ini juga bermakna bahwa konselor dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling jangan melebihi batas kewenangannya. Atau pelayanan bimbingan dan konseling hanya menangani masalah-masalah individu (siswa) sesuai dengan kewenangan petugas konselor atau pembimbing yang bersangkutan. Misalnya individu yang stress berat (gila) tidak lagi menjadi kewenangan konselor sekolah dan madrasah melainkan kewenangan psikiater. Pembimbing atau konselor tidak boleh melaksanakan tugas melebihi batas kewenangannya. 
12.Asas Tut Wuri Handayani 
   Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendak tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara pembimbing (konselor) dengan yang dibimbing (siswa). Terlebih lagi di lingkungan sekolah atau madrasah, asas ini semakin dirasakan manfaatnya bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso.” 
    Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada waktu siswa mengalami masalah. Bimbingan dan konseling hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya sebelum dan sesudah siswa menjalani layanan bimbingan dan konseling secara langsung. Dalam asas ini, pembimbing atau konselor bisa menjadikan dirinya sebagai contoh pemecah masalah yang efektif (counselling by modeling). Dalam praktik bimbingan dan konseling Islam, asas ini bertumpu pada keteladanan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. Merupakan sosok pemecah masalah yang efektif, sehingga berbagai masalah para sahabat ketika itu dapat dipecahkan melalui percontohan (keteladanan) dari Rasulullah Saw. Dalam konteks ini Rasulullah Saw. bisa disebut konselor Islam. Al-quran Surat (Al-Ahzab [33]:21) menjelaskan: “Bahwa di dalam diri Rasulullah Saw. terdapat contoh teladan yang baik bagimu.” 
    Asas ini juga memberikan makna bahwa untuk bisa menjadi pemecah masalah yang efektif dan bisa dicontoh (diteladani) oleh klien, pembimbing atau konselor harus memulai dari diri sendiri. 
 
C. Landasan Bimbingan dan Konseling 
    Bimbingan dan Konseling merupakan layanan kemanusiaan. Pelaksanaannya selain harus berlandaskan pada prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu, juga harus mengacu kepada landasan bimbingan dan konseling itu sendiri. Menurut Prayitno dan Erman Amt (1999) ada beberapa landasan bimbingan dan konseling, yaitu: 
1. Landasan Filosofis 
  Filosofis bisa bermakna cinta kebijaksanaan. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan serangkaian kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filosofis tentang berbagai hal yang menyangkut pelayanan bimbingan dan konseling. 
    Pemikiran filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling secara umum dan bagi konselor secara khusus; yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam membuat keputusan yang tepat. Selain itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, dan lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya. 
    Landasan filosofis dalam pelayanan bimbingan dan konseling akan membantu konselor memahami hakikat klien (siswa) sebagai manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan berkenaan dengan manusia adalah siapa itu manusia, apa tugas dan tujuan hidupnya? Bagaimana potensinya? Dan lain-lain. Hakikat manusia dengan berbagai dimensi kemanusiaannya (fisik, psikologis, dan spiritual) serta dengan segenap tujuan dan tugas kehidupannya menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, pemahaman tentang seluk-beluk manusia merupakan suatu keniscayaan bagi para konselor. 
2. Landasan Religius 
  Dimensi spiritual pada manusia menunjukan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk religius. Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan. Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, mengisyaratkan pada ketinggian derajat dan keindahan makhluk manusia serta peranannya sebagai khalifah di bumi. Derajat dan keberadaan yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Allah Swt. hanya perlu dimuliakan oleh manusia itu sendiri. 
    Allah Swt. mengamanatkan kepada manusia untuk menjadi pemimpin (khalifah fil ardh), terutama pemimpin bagi dirinya sendiri. Untuk dapat memikul amanah itu. Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan segala fasilitas keinsanan dan ketuhanan yang sempurna dan lengkap. Sehingga dengan itu, manusia merupakan makhluk yang terbaik, indah, dan sempurna. Al-quran surat (At-Tin [95]:4) menegaskan bahwa: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan seorang manusia dengan sebaik-baik bentuk.” Kemanusiaan manusia perlu dikembangkan dan dimuliakan secara sengaja melalui berbagai upaya antara lain melalui pendidikan dan bimbingan serta pengembangan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya. 
    Landasan religius bagi layanan bimbingan dan konseling setidaknya ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1). Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Allah Swt, (2) Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama, (3) Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah individu. 
    Landasan religius dalam bimbingan dan konseling pada umumnya ingin menetapkan klien sebagai makhluk Allah Swt. dengan segenap kemuliaan kemanusiaan dan menjadi fokus netral upaya bimbingan dan konseling. Klien dengan segenap kemuliaan kemanusiannya hendaknya diperlakukan dalam suasana dan dalam cara yang penuh kemuliaan kemanusiaan pula. Kemuliaan manusia banyak diungkapkan melalui ajaran agama. Oleh karena itu, dalam masyarakat agama itu banyak macamnya, maka konselor harus hati-hati dan bijaksana menerapkan landasan religius terhadap klien (siswa) yang berbeda latar belakang agamanya. 
    Dalam konteks Islam, implementasi layanan bimbingan dan konseling yang berlandaskan religius, harus merujuk kepada ajaran Islam yang terangkum dalam Al-quran dan Hadist. Ini bermakna bahwa praktik pemberian bantuan (layanan bimbingan dan konseling) di sekolah atau madrasah terlebih lagi untuk klien yang beragama Islam, tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. 
3. Landasan Psikologis 
    Bimbingan dan konseling merupakan proses psikologis. Makanya situasi bimbingan dan konseling merupakan situasi yang sarat dengan muatan-muatan psikologis. Psikologi mempersoalkan tentang perilaku. Oleh sebab itu, landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling berarti mempersoalkan tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan. Hal ini sangat penting mengingat bidang garapan bimbingan dan konseling adalah perilaku siswa, yaitu perilaku klien (siswa) yang perlu dikembangkan atau diubah apabila ia hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yang dihendakinya. 
    Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling, sejumlah aspek psikologi yang perlu dikuasai oleh para pembimbing (konselor) meliputi: (1) motif dan motivasi, (2) pembawaan dasar dan lingkungan, (3) perkembangan individu, (4) belajar, balikan dan penguatan serta (5) kepribadian. 
4. Landasan Sosial Budaya 
   Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup secara sendiri tanpa orang lain. Klien (siswa) sebagai manusia juga merupakan makhluk sosial. Dimensi sosial manusia harus tetap dipertahankan sambil terus dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, manusia juga merupakan makhluk budaya. Prayitno dan Erman Amti (1999) mengutip pendapat Mc Daniel (1956) menyatakan bahwa sejak lahir manusia selain harus memenuhi tuntutan biologis, juga harus memenuhi tuntutan budaya dimana ia hidup. Upaya memenuhi tuntutan menghendaki agar manusia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut. Kegagalan individu memenuhi tuntutan biologis akan menyebabkan kepunahan dan kegagalan manusia memenuhi tuntutan budaya akan mengakibatkan ia tersingkir dari kehidupan bersama. 
  Manusia hidup berpuak-puak, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Relevan dengan pernyataan ini Al-Quran menegaskan bahwa “Allah Swt. menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal”. Masing-masing puak, suku, dan bangsa memiliki lingkungan sosial budaya yang berbeda. Perbedaan itu bisa menimbulkan subjektivitas budaya sehingga akan berpengaruh pula pada upaya pemberian bantuan (bimbingan dan konseling). Proses bimbingan dan konseling merupakan proses komunikasi antara konselor dengan klien. Proses konseling yang bersifat antar budaya (konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda) sangat peka terhadap pengaruh dari sumber-sumber hambatan komunikasi seperti bahasa dan lain sebagainya. Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi, dan bahasa bisa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling. Oleh sebab itu, konselor harus menjaga netralitas sosial budaya dalam memberikan bantuan (melakukan bimbingan dan konseling). 
5. Landasan Ilmiah dan Teknologi 
   Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang dilaksanakan atas dasar keilmuan baik yang menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangannya. Secara keilmuan, bimbingan dan konseling merupakan pengetahuan tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematis. Landasan ilmiah bimbingan dan konseling mengisyaratkan bahwa praktik bimbingan dan konseling harus dilaksanakan atas dasar keilmuan. Oleh sebab itu, siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia bimbingan dan konseling harus memiliki ilmu tentang bimbingan dan konseling. 
    Ilmu bimbingan dan konseling bersifat multireferensial, artinya suatu disiplin ilmu dengan rujukan (referensi) ilmu-ilmu yang lain seperti psikologi (psikologi perkembangan, kepribadian, psikologi anak, remaja, orang dewasa, psikologi komunikatif dan lain-lain), ilmu pendidikan dan filsafat, bahkan ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu agama, ilmu hukum, statistik, evaluasi, dan lain-lain. 
    Kontribusi ilmu-ilmu lain terhadap bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas kepada pembentukan dan pengembangan teori-teori bimbingan dan konseling melainkan juga kepada praktik pelayanannya. Ilmu psikologi memberikan pemahaman tentang aspek-aspek psikologis klien termasuk kepribadian klien dari mulai kanak-kanak hingga dewasa. Sedangkan ilmu sosiologi memberikan pemahaman tentang peran individu (klien) dalam masyarakat, keluarga, interaksi individu dalam kelompok. Ilmu sosiologi dan ekonomi memberikan pemahaman tentang kondisi status sosial ekonomi individu. Kemudian ilmu sosiologi dan antropologi memberikan pemahaman tentang latar belakang antropologi dan sosial budaya klien juga interaksi timbal balik antara individu dengan lingkungannya. Ilmu agama dan hukum memberikan pemahaman tentang nilai dan norma yang harus diikuti oleh individu dalam menjalani kehidupannya di masyarakat. Lalu ilmu statistik dan evaluasi memberikan pemahaman dan teknik-teknik pengukuran dan evaluasi karakteristik individu. Semua ilmu di atas sangat penting bagi teori dan praktik bimbingan dan konseling. Pembimbing atau konselor idealnya selain menguasai bimbingan dan konseling juga menguasai ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas. 
    Selain perlu dukungan sejumlah ilmu, praktik bimbingan dan konseling juga memerlukan dukungan perangkat teknologi. Dukungan perangkat teknologi terhadap praktik bimbingan dan konseling antara lain dalam pembuatan instrumen bimbingan dan konseling dan penggunaan berbagai alat atau media untuk memperjelas materi bimbingan dan konseling. Dewasa ini perangkat teknologi yang dimanfaatkan secara langsung dalam praktik pelayanan bimbingan dan konseling adalah komputer. 
   Bimbingan dan konseling baik pada tataran teori dan praktik bersifat dinamis. Artinya, bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan praktik pelayanan, berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pengembangan bimbingan dan konseling baik pada tataran teori dan praktik bisa dilakukan melalui penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan jiwa dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, supaya bimbingan dan konseling berkembang dan maju mengikuti perkembangan zaman, harus dilakukan penelitian terhadap bimbingan dan konseling dalam berbagai bentuk dan aspeknya. 
6. Landasan Pedagogis 
    Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan bahwa bimbingan dan konseling identik dengan pendidikan. Artinya ketika seseorang melakukan praktik pelayanan bimbingan dan konseling berarti ia sedang mendidik; sebaliknya apabila seseorang melakukan praktik pendidikan (mendidik), berarti ia sedang memberikan bimbingan. 
    Landasan pedagogis pelayanan bimbingan dan konseling setidaknya berkaitan dengan: (1) pendidikan sebagai upaya pengembangan manusia dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan, (2) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling, dan (3) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling. Berikut penjelasannya: 
    a. Pendidikan sebagai Upaya Pengembangan Manusia dan Bimbingan merupakan Salah Satu Bentuk Kegiatan Pendidikan 
    Fokus pelayanan bimbingan dan konseling adalah manusia; sehingga timbul pernyataan: “Bimbingan dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia”. Manusia yang menjadi fokus bimbingan dan konseling adalah manusia yang berada dalam proses perkembangan yang secara berkelanjutan terus berada mewujudkan dimensi-dimensi kemanusiannya untuk menjadi manusia seutuhnya (insan kamil dan kaffah menurut Islam). Dalam arti yang luas, pendidikan bisa di konsepsikan sebagai upaya memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Tanpa pendidikan, potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia tidak akan berkembang. Begitupun tanpa bimbingan potensi kemanusiaan yang dimiliki manusia tidak akan berkembang secara optimal. Dalam Islam secara tegas telah dinyatakan bahwa manusia tanpa pendidikan khususnya pendidikan agama Islam potensi kemanusiaannya seperti beriman, berakhlak, beramal saleh, dan potensi-potensi lainnya tidak akan berkembang. Bahkan ditegaskan bahwa tanpa pendidikan manusia bisa berperilaku lebih buruk (kejam) dari binatang. 
    b. Pendidikan sebagai Inti Proses Bimbingan dan Konseling 
    Dalam pengertian pendidikan diatas telah disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan. Indikator utama yang menandainya adalah: (1) peserta didik yang terlibat di dalamnya menjalani proses belajar, dan (2) kegiatan bimbingan dan konseling bersifat normatif. Apabila kedua indikator utama di atas tidak ada, maka upaya yang dilakukan tidak dikatakan sebagai upaya pendidikan. 
    Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani oleh para klien. Prayitno dan Erman Amti (1999) mengutip pendapat Gistod (1953) menegaskan bahwa bimbingan dan konseling merupakan proses yang berorientasi pada belajar, yakni belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri; belajar untuk mengembangkan dan menerapkan secara efektif berbagai pemahaman. Selanjutnya Belkin (1975), Nugent (1981) yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti (1999) menegaskan bahwa dalam proses konseling klien mempelajari keterampilan dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan serta sikap-sikap baru. Melalui belajar itulah klien memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dan dengan memperoleh hal-hal yang baru itulah klien berkembang. 
    c. Pendidikan Lebih Lanjut sebagai Inti Tujuan Bimbingan dan Konseling 
    Bimbingan dan konseling mempunyai tujuan khusus (jangka pendek) dan tujuan (jangka panjang). Mengutip pendapat Crow dan Crow (1990), Prayitno dan Erman Amti (1999) menyatakan bahwa tujuan khusus yang segera hendak dicapai (jangka pendek) dalam pelayanan bimbingan dan konseling adalah membantu individu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, sedangkan tujuan akhir (jangka panjang) adalah bimbingan diri sendiri. Siswa telah melalui proses bimbingan dalam jangka panjang hendak nya dapat membimbing dirinya sendiri dalam arti mampu mengembangkan kemampuan sendiri untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa pelayanan bimbingan dan konseling lagi. 
    Hasil bimbingan yang mampu membuat siswa melakukan bimbingan terhadap diri sendiri akan menjadi daya dukung yang lebih memungkinkan kesuksesan pendidikan yang dijalani individu lebih lanjut. Hasil-hasil penelitian tentang program bimbingan dan konseling di sekolah di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Borders dan Drury (1992) yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti (1999) menyimpulkan bahwa kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah telah memberikan dampak positif yang amat besar terhadap perkembangan pendidikan dan pribadi siswa. Konseling individual dan kelompok, bimbingan dalam kelas, dan kegiatan konsultasi lainnya memberikan kontribusi langsung kepada keberhasilan siswa di sekolah maupun di luar sekolah. 
    Tujuan-tujuan bimbingan dan konseling, selain memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal ini dapat dimengerti karena berbagai program bimbingan dan konseling yang meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut kematangan pendidikan dan karier, emosional, dan kematangan sosial, semuanya diperuntukkan bagi peserta didik baik pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI), pendidikan menengah pertama (SMP/MTS) dan pendidikan menengah atas (SMA/MA). 
 
BAB III 
PENUTUP 
 
A. Kesimpulan 
     Menurut Prayitno ada dua belas asas yang mendasari layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, asas-asas tersebut sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan di atas. Kedua belas asas bimbingan dan konseling tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa para konselor merupakan para ahli yang memiliki kemampuan untuk membimbing konselinya, baik secara ikhlas maupun profesional sehingga mereka mampu meningkatkan taraf kehidupannya yang lebih baik, terutama berkaitan dengan persoalan mentalitas konseli, baik dalam menghadapi lingkungannya maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya. 
    Demikianlah beberapa asas-asas penting yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
Dahlan, Syarifudin. Bimbingan dan Konseling: Konsepsi Dasar dan Landasan Pelayanan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014 
Hallen. Bimbingan dan Konseling. Jakarta Selatan: Ciputat Press. 2002 
Nursalim, Mochamad. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Erlangga. 2015 
Sutirna. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2013 
Tohirin. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integral). Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada. 2007 
Winkel, W.S & Sri Hastuti. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi. 2013 
 
__________________
[1] Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah, Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2007, hlm. 81. 
[2] Hallen, Bimbingan Konseling, Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2002, hlm.67.

Baca juga: Karya Tulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *