Makalah

Makalah Aspek Tasawuf Dalam Islam

BAB I 
PENDAHULUAN 
 
A. Latar Belakang 
    Tasawuf merupakan salah satu bagian dari studi Islam yang banyak mendapatkan perhatian baik dari kalangan para peneliti muslim, maupun dari kalangan Barat. Sehubungan dengan itu telah banyak hasil kajian dan penelitian para ahli tersebut yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan tasawuf diberbagai belahan dunia Islam, sejak kedatangan Islam hingga saat ini. Karena tasawuf merupakan fenomena ekspresi keagamaan yang bersifat universal, maka kehadirannya tidak hanya di dunia Islam, melainkan di berbagai belahan dunia Barat dan Eropa lainnya. Melihat kenyataan ini, di dalam hasil kajian dan penelitian para ahli tersebut kadang dijumpai pembahasan tentang hubungan antara tasawuf yang terdapat dalam dunia Islam dan di luar Islam. 
 
B. Rumusan Masalah 
  1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf Islam? 
  2. Apa perbedaan dan persamaan tasawuf dengan thariqat? 
  3. Bagaimana latar belakang lahirnya tasawuf Islam? 
  4. Siapakah para tokoh Sufi Islam? 
  5. Apa saja masalah yang dibahas dalam tasawuf Islam? 
  6. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat para sufi Islam, serta manfaat tasawuf bagi kehidupan masyarakat modern? 
C. Tujuan Penulisan 
  1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian dari Tasawuf Islam. 
  2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami persamaan serta perbedaan tasawuf dengan thoriqot. 
  3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami latar belakang lahirnya Tasawuf Islam. 
  4. Mahasiswa dapat mengetahui tokoh-tokoh Sufi Islam. 
  5. Mahasiswa dapat mengetahui masalah-masalah yang dibahas dalam Tasawuf Islam. 
  6. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara menyikapi perbedaan pendapat para Sufi Islam, serta manfaatnya dalam kehidupan. 
BAB II 
PEMBAHASAN 
 
A. Pengertian Tasawuf 
       Tasawuf berasal dari kata shuf wol. Disebut demikian karena konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa berpakaian shuf atau bulu domba.[1]
    Dalam arti istilah, tasawuf biasa disamakan dengan mistik, yaitu satu sistem cara bagaimana agar seseorang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Maha kekal dan Maha sempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta (hubb) dan kasih. Oleh beberapa ahli studi tentang Islam, tasawuf biasanya dimasukkan sebagai bagian integral dari agama Islam[2]
    Setelah menelaah beberapa uraian mengenai tasawuf dalam dunia umat Islam, maka sampailah penulis kepada beberapa kesimpulan pendirian dibawah ini. 
1. Tasawuf bukanlah bagian integral dari agama Islam dengan alasan beberapa alasan. 
  • Tidak satu patah kata sufi dan tasawuf pun dalam nash Al Qur’an dan Sunnah Rasul. 
  • Dalam terminologi tasawuf, orang Islam kita mengenal istilah istilah syariat, thariqat, haqiqat, dan marifat menurut penafsiran para sufi sama sekali tidak kita dapati dasarnya yang kukuh dalam Al Qur’an dan As Sunnah.[3]
  • Dalam tasawuf, orang Islam kita mengenal pembagian tasawuf aqidah, dan tasawuf ibadah disamping tasawuf akhlaq (gabungan akidah, muamalah, ibadah dan akhlak = agama islam). 
  • Tasawuf dengan istilah lain, seperti mistik terdapat dalam berbagai agama. 
  • Istilah sufi dan tasawuf baru timbul dalam sejarah kebudayaan islam pada abad ketiga hijriah, walaupun zuhd (pertapaan) timbul pertama kali dalam masyarakat Arab sejak akhir abad pertama hijriah. 
2. Jika filsafat merupakan usaha penafsiran failasuf secara rasional, maka tasawuf merupakan satu sistem interpretasi atau penafsiran terhadap ajaran Islam oleh kaum sufi secara non nasional yaitu secara mistik berdasarkan cinta kasih. 
 
3. Tasawuf islam dibedakan dai tasawuf muslim atau tasawuf orang islam yang kita terima adalah dalam arti satu sistem interpretasi atau penafsiran terhadap ajaran Islam oleh kaum sufi muslim berdasarkan cinta kasih kepada Allah azza wa jalla yang bersumber dari Al Qurab dan As Sunnah [4]
 
    Menurut Abu Al-Wafa’Al-Ghanimi At-Taftazani (Peneliti Tasawuf), secara umum tasawuf mempunyai lima ciri umum, yaitu: 
  • Peningkatan Moral. 
  • Pemenuhan Fana (Sinar) dalam realitas mutlak. 
  • Pengetahuan intinuitif langsung. 
  • Timbul rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi. 
  • Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung harfiah dan tersirat. 
B. Aspek Mistisisme 
    Sudah disebut bahwa ada segolongan umat Islam yang belum masa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat salat, puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu diberikan oleh al tasawwuf. Al tasawwuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam islam. 
      Tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran itu selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan tuhan yang dalam istilah Arab disebut Ijtihad dan istilah Inggris Imystical union. 
     Berbagai teori dimajukan tentang asal usul kata al tasawuf dan al sufi. Teori yang banyak diterima ialah bahwa istilah itu berasal dari kata suf yaitu wol. Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai orang orang kaya, tetapi wol primitif dan kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang orang miskin di Timur Tengah di zaman itu pakaian kemewahan ialah sutra. Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang orang miskin dengan memakai wol kasar tersebut. 
     Kemudian dikatakan pula bahwa tasawuf datang dari luar dan masuk kedalam islam. Ada penulis penulis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib rahib kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh falsafat plotinus. Menurut falsafat emanasi plotinus roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali ke Tuhan. 
 
1. Ayat 186 dari surah Al Baqarah, umpamanya, mengatakan: 
   Jika hamba hambaku bertanya padamu tenang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku. 
    Kata doa yang terdapat dalam ayat ini oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam ati yang lazim dipakai. Kata itu bagi mereka mengandung arti berseru, memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan melihatkan diri-Nya kepada mereka. 
 
2. Ayat 15 dari surat itu juga mengatakan: 
    Timur dan barat kepunyaan Allah maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan. Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan ada. Dimana saja Tuhan dapat dijumpai. 
 
3. Lebih dari itu lagi ayat 16 dari surat Qaf menjelaskan: 
    Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada pembuluh darahnya sendiri. Berdasarkan atas ayat ini kaum sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh jauh. Untuk itu ia cukup kembali kedalam dirinya sendiri. [5]
    Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani. 
 
C. Perbedaan dan Persamaan Tasawuf dengan Thariqat
     Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat itu tidak saja ditunjukkan pada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seseorang syaikh tarikat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaikh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam seperti salat zakat dan lain-lain yang semuanya itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah. 
    Dalam tarekat yang sudah melembaga itu sudah tercakup semua aspek ajaran islam seperti salat zakat dan lain-lain, ditambah lagi pengamalan serta seorang syaikh. Akan tetapi, semua itu merupakan tuntunan dan bimbingan seorang syaikh melalui baiat. 
    Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah usaha dan mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbingan seorang guru atau syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus di tempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. 
    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu. Sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru pada muridnya. 
 
D. Latar Belakang lahirnya Tasawuf 
   Menurut para ahli teori asal usul tasawuf ada berbagai macam. Ada sebagian yang berpendapat, bahwa tasawuf lahir dari luar Islam dan sebagian ada yang berpendapat bahwa tasawuf lahir dari kalangan Islam sendiri. 
    Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam berpendapat, bahwa tasawuf berasal dari rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materiil. Ada pula yang mengatakan, bahwa tasawuf timbul atas pengaruh, ajaran-ajaran Hindu. Disebut pula bahwa tasawuf masuk berasal dari filsafat Pythagoras dengan ajarannya untuk meninggalkan kehidupan materiil dan memasuki kehidupan kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam atas pengaruh filsafat Plotinus. Menurut filsafat tersebut, roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya roh ke dalam alam materi, maka ia menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat aslinya, ia harus terlebih dahulu disucikan. Tuhan Mahasuci dan Yang Mahasuci tidak didekati kecuali oleh orang yang suci. 
    Pendapat yang mengatakan, bahwa tasawuf muncul dari dasar ajaran Islam sendiri, antara lain terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Didalam Al-Qur’an ayat 186 surat al-Baqarah misalnya terdapat ayat yang menggambarkan tentang kedekatan manusia dengan Tuhan, yang berbunyi: 
  “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah[2]:186). 
    Menurut Harun Nasution, bahwa kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti yang lazim dipakai. Kata itu bagi mereka mengandung arti bersatu, memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka. 
    Selanjutnya, di dalam Hadits dinyatakan: 
“Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal pada Tuhan.” 
 
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.” (Hadist Qudsi)[6]
 
    Selain itu, fakta menunjukkan bahwa kebiasaan menjauhkan diri dari pengaruh material dan duniawi sesungguhnya telah dijumpai dari kebiasaan hidup Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah SAW selain menerapkan pola hidup yang sangat sederhana juga senantiasa beribadah pada setiap hari. 
   Berdasarkan keterangan tersebut, bahwa tasawuf dalam Islam sungguhpun tanpa ada pengaruh dari luar, dapat muncul sendiri dari pengaruh ajaran Islam sendiri. Selain itu, boleh jadi antara tasawuf dalam Islam dengan tasawuf di luar Islam terdapat unsur persamaan atau terjadi titik singgung antara keduanya. Hal ini juga menunjukkan, bahwa tasawuf adalah ajaran yang bersifat universal dan melekat pada diri manusia.[7]
 
E. Para Tokoh Tasawuf dan Pahamnya 
1. Al-Hasan Al-Basri 
    Hasan Basri lahir di Madinah (642 M) dan meninggal di Bashrah (728 M). Al-Hasan Al-Barsi ini termasuk pula sebagai tokoh teologi, ketika Washil Ibn Atha menyatakan pendapatnya tentang kedudukan pembuat dosa besar. Selain sebagai alim besar, ia juga zahid besar. Oleh sebab itu, ia dipandang kaum sufi sebagai ima, mereka.[8]
    Al-Hasan Al-Basri melihat dunia ini seperti ular yang halus dalam genggaman tangan, tetapi racunnya membawa pada maut. Oleh sebab itu, ia menganjurkan agar orang menjauhi hidup keduniaan.[9]
 
2. Ibrahim Ibn Adham 
    Ibrahim Ibn Adham lahir di Mekkah, ketika kedua orangtuanya melaksanakan ibadah haji. Ayahnya adalah raja dari Balkh. Dengan demikian, Ibrahim Ibn Adham adalah anak seorang raja yang berubah menjadi zahid/sufi. 
    Menurut sebuah riwayat, bahwa perubahan itu terjadi ketika sedang berburu, ia mendengar suara “Engkau bukanlah diciptakan untuk itu.” Adapun riwayat lain mengatakan bahwa, perubahan itu terjadi akibat suatu mimpi. Dalam mimpi ini ia mendengar orang berjalan diatas istananya. Atas pertanyaan, orang itu menjawab; “ Aku orang yang engkau kenal. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya.” Bertanya Ibrahim: “Bagaimana engkau dapat mencari unta yang hilang di atap istana?” Ujar orang itu “Hai Ibn Adham, bagaimana engkau dapat mencari Tuhan dalam Istana Raja?” 
    Mendengar suara seperti itu, Ibrahim meninggalkan kerajaannya dan selanjutnya ia hidup sebagai zahid. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain dan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk mencari belanja hidup. Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa ia pernah bekerja sebagai tukang kebun dan tukang potong kayu api. Dari uang yang diperolehnya ia beli roti yang ia bagi dua. Setengahnya ia berikan kepada orang miskin, dan setengahnya lagi ia gunakan untuk keperluannya sendiri. Ia meninggal pada 777 M. 
 
3. Rabiah Al-‘Adawiyah 
    Ia lahir di Baghdad 714 M, dan meninggal di tahun 801 M. Kedua orang tuanya meninggal sewaktu ia masih kecil dan kemudian ia kelihatannya di jual sebagai budak. Tetapi pada akhirnya ia memperoleh kebebasannya kembali. Menurut cerita orang yang memilikinya, bahwa ia melihat cahaya di atas kepalanya sewaktu ia beribadat yang menerangin seluruh ruangan rumah. Setelah dibebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan memilih hidup sebagai zahid. 
    Dalam dialognya dengan Tuhan ia mengatakan: 
    “Kekasih hatiku hanya Engkaulah yang kucinta. Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkau harapan, kebahagiaan, dan kesenanganku. Hati telah engga mencintai selain diri-Mu.”[10]
 
4. Zunnun Al-Misri 
    Ia lahir di Mesir Selatan. Tanggal lahirnya tidak diketahui, tetapi ia meninggal pada tahun 859M. Selain sebagai seorang sufi, ia juga sebagai ahli ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut sejarah, ia juga tercatat sebagai orang yang dapat membaca huruf hieroglif yang ditinggalkan zaman Fir’aun di Mesir. Atas tuduhan sebagai pembawa ajaran yang bertentangan dengan Islam, ia pernah ditangkap dan dibawa kedepan khalifah Baghdad. Namun setelah mendengar ucapannya, khalifah begitu terharu sehingga tidak dapat menahan air mata. Ia kemudian dibebaskan. 
    Dalam tasawuf Zunnun al-Misri dikenal sebagai pembawa paham makrifat. Menurutnya, bahwa ma’rifat adalah cahaya yang dilontarkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. “Orang yang tahu Tuhan tidak mempunyai wujud tersendiri tetapi berwujud melalui Tuhan”. Ia juga menerangkan: 
    “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan, dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu pada Tuhanku.”[11]
 
5. Abu Yazid Al-Bustami 
    Ia lahir di Persia tahun 874M, dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ibunya dikenal sebagai seorang zahid dan Abu Yazid sangat patuh kepadanya. Sekalipun orangtuanya tergolong pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih jalan hidup sederhana dan menaruh sayang serta kasih pada fakir miskin. Ia termasuk sufi yang jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya dikatakan, bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab: “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah bepergian dan oleh karena itu aku pun tidak bergerak dari sini.” Sebagian besar waktunya digunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan. 
    Dalam sejarah, Abu Yazid dikenal sebagai sufi yang membawa paham al-fana’ dan al-baqa’ sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tentang bagaimana ia sampai pada al-fana’, ia jelaskan bahwa pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya: 
    “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah!” 
 
   Dengan berusaha meninggalkan diri itu, ia akhirnya sampai kepada al-fana’. Ia mengatakan: 
    “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur, kemudian aku tahu pada Tuhan melalui diri-Nya dan aku pun hidup.”[12]
 
6. Al-Hallaj 
    Nama lengkapnya Husein Ibn Mansur al-Hallaj. Ia lahir di kota Al-Baida’ di Iran Selatan (858 M). Kemudian ia pindah ke Irak. Sejak usia muda ia telah memasuki jalan sufi dan menjadi murid dari sufi-sufi kenamaan di Baghdad. Ia banyak melakukan perjalanan. Misalnya ia pernah ke Mekkah dan ke India. Ia dituduh memiliki hubungan dengan golongan Syi’ah ekstrem, kaum Qaramitah yang banyak menentang Pemerintah Bani Abbas. Dengan demikian, bahwa ia di jatuhi hukuman mati bukan karena pahamnya tetapi karena masalah politik. Yakni bukan karena ucapannya Ana al-Haqq (Saya yang Maha benar), melainkan karena soal politik. 
    Menurut pendapatnya, bahwa Tuhan memiliki sifat kemanusiaan dan manusia memiliki sifat ketuhanan. Dasar pandangannya ini berdasarkan pada hadis Rasulullah SAW., yang berbunyi: 
    “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.”[13]
 
7. Ibn ‘Arabi 
    Nama lengkapnya adalah Muhy al-Dinn Ibn ‘Arabi. Ia lahir di Murcia, Spanyol (1165 M), dan meninggal di Damsyik pada 1240 M. Di masa muda ia belajar ilmu tasawuf di samping pengetahuan lain. Kemudian ia mengadakan perjalanan ke dunia Islam bagian timur, mengunjungi Mesir, Syria, Irak, Mekkah, dan akhirnya menetap di Damsyik. Ia meninggal di Damsyik (1240 M). Bukunya yang terkenal dalam bidang tasawuf yaitu al-Futuhat al-Makkiyah (Pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah), yang tersusun atas dua belas jilid, serta Fusus al-Hikam (Permata-permata Hikmah). 
    Dalam pandangannya Ibn ‘Arabi , bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya, maka dijadikan-Nyalah alam. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena esensinya ialah sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbullah paham kesatuan wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan saja, padahal hakikatnya itu semua satu. Tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam cermin. Dalam cermin ini dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanya satu. Sebagaimana dijelaskan dalam Fusus al Hikam, bahwa wajah sebenarnya hanya satu, tetapi kalau cermin itu diperbanyak, maka wajah kelihatannya banyak pula. Atau sebagai kata Permanides, yang ada itu satu, yang banyak hanyalah ilusinya.[14]
 
F. Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern 
  1. Salah satu ciri kehidupan masyarakat modern adalah terlalu mengandalkan kekuatan akal dan fisik, atau hanya mengakui sesuatu yang masuk akal. Untuk menyelamatkan keadaan yang tersebut perlu ajaran tasawuf. 
  2. Masyarakat modern bergerak dalam bidang jasa dan industri dengan berbagai aneka ragamnya semakin memerlukan nilai-nilai spiritual yang dapat memberikan bekal dan pegangan yang kokoh bagi usahanya itu. Pandangan tasawuf yang transformatif dan integrated, yaitu nilai-nilai tasawuf seperti kesederhanaan, kejujuran, keikhlasan, kehati-hatian, kesabaran. Keyakinan pada janji Tuhan dan nilai-nilai ajaran tasawuf lainnya ternyata sangat dibutuhkan dalam mengelola berbagai bisnis di zaman modern. 
  3. Ajaran selalu dekat dengan Allah SWT. Sebagaimana yang di ajarkan dalam tasawuf dan kesungguhan dalam membersihkan diri dari dosa serta kesungguhan mencari ridho Allah SWT.[15]
G. Model-Model Penelitian Tasawuf 
  1. Model Sayyed Husein NasrHasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya berjudul Tasawuf Dulu dan Sekarang. Di dalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Di antaranya uraian tentang fungsi tasawuf, yaitu tasawuf dan pengutuhan manusia. 
  2. Model Mustafa ZabriPerhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-Qur’an dan al-hadis. 
  3. Model Kautsar Azbari NoorPenelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas,yang dalam hal Ibn Arabi dengan pahamnya Wahdat al-Wujud. Paham ini dinilai membawa paham reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yakni Tuhan menjelma dalam berbagai ciptaan-Nya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Tuhan. 
  4. Model Harun NasutionHasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Penelitian yang dilakukan ini mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud dan station-station lain, al- mahabbah, al-ma’rifah, al-fana dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul dan wahdat al-wujud. 
  5. Model A.J.Arberry. Dalam bukunya berjudul Pasang Surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dari penelitian nampak bahwa Arberry menggunakan analisa kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentrasformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas. 
BAB III 
PENUTUP 
 
A. Kesimpulan 
     Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya Tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal Shalih dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya. Sementara Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi untuk dapat dekat dengan Allah. Hubungan antara tasawuf dengan thariqat yakni usaha seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui jalan atau perintah yang telah ditetapkan (Beribadah). Telah banyak tokoh-tokoh sufi yang ada, misalnya Al-Ghazali, Hasan Al-Bashri, Rabi’atul Al-‘Adawiyah dan tokoh lainnya, dapat jadikan contoh untuk senantiasa berupaya mendekatkan diri kepadaNya, dengan mengharapkan keridhoan-Nya. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya senantiasa merasakan kehadiran-Nya bersama dalam diri kita. Sehingga kita dapat menyadari sesungguhnya dunia dan alam semesta ini hanya tempat persinggahan sementara, nanti setelah tiba waktu yang dikehendaki-Nya dunia beserta alam semesta akan kembali kepadaNya. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
T.S.G Mulia dan K.H. Hidding. Artikel: mystik dan tasawuf. Bandung: Ensiklopedia Indonesia. 
H.M. Rasjid. Apakah gerakan subud itu? Harian abadi, rabu 4 agustus, 1971. 
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1. Jakarta: UI-Press, 1984. 
Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011. 
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jilid 1. Jakarta: UI-Press, 1979. 
 
__________________
[1] Lihat T.S.G Mulia dan K.H. Hidding, EnsiklopediaIndonesia, Bandung, atikel: mystik dan tasawuf. 
[2] Lihat umpamanya P.A. Hoesain Djajaningat, Apa Arti Islam, Jakarta, 1954. 
[3] H.M. Rasjidi, apakah gerakan subud itu? Harian abadi, rabu 4 agustus, 1971, hlm. 3 
[4] Lihat buku ini bab ke 26, Filsafat Arab, Filsafat Muslim, dan Filsafat Islam. Dan bab ke 38 Islam, Islamisme, dan Ideologi Islam. 
[5] Harun Nasution, ISLAM DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEKNYA, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984-1985, Hlm 71-73 
[6] Hadis-hadis qudsi sebagaimana disebutkan diatas pada umumnya dikutip oleh para penulis buku tasawuf dalam menjelaskan tentang hubungan Islam dengan tasawuf, seperti dalam buku Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, dan sebagainya. Dikalangan para ahli tasawuf tidak terlalu dipentingkan atau tidak terlalu dipersoalkan tentang kedudukan atau tingkat kesahihan hadis yang digunakan dalam membangun pahamnya. Yang dipentingkan dalam tasawuf adalah kandungan hadis tersebut. 
[7] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011, hlm. 314-317 
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid 1, (Jakarta: UI-Press. 1979), cet 1. Hlm. 74 
[9] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011, hlm. 318 
[10] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011, hlm. 320 
[11] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011, hlm. 321 
[12] Ibid. 
[13] Ibid. 
[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Op.cit. hlm. 88 
[15] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Cet. 1 2011, hlm. 329

Baca juga: Karya Tulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *