Makalah Aspek Pembaharuan Dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan dalam islam dikenal juga dengan modernisasi islam, yang mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan Falsafah modern, tetapi perlu diingat bahwa dalam islam ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa ke masa.
Dengan kata lain pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan karena sudah tidak bisa lagi diganggu gugat seperti pada hukum-hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an. Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana proses pembaharuan dalam islam?
- Apa perbedaan pembaharuan dalam islam dengan Modernisasi, Reformasi, Revitalisasi, Rekontruksi, Reaktualisasi, dan Reinterpretasi?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui dan memahami aspek pembaharuan dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembaharuan Islam
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditumbuhkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. [1]
B. Perbedaan Pembaharuan Islam dengan Modernisasi, Reformasi, Revitalisasi, Rekontruksi, Reaktualisasi, dan Reinterpretasi
1. Modernisasi
Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berfikir yang sesuai dengan tuntutan zaman. Selanjutnya modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Menurut Nurcholish Madjid, pengertian modernisasi hampir identik dengan pengertian rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional.
Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sesuatu bisa disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan kesesuaian hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Contoh: sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang optimal, menurut penemuan ilmiah yang terbaru, dan karena itu penyesuaiannya dengan alam paling mendekati kesempurnaan.Menurut Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip Faisal Ismail, mendefinisikan modernisasi sebagai suatu usaha secara sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa atau negara untuk menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia pada suatu kurun tertentu di mana bangsa itu hidup.
Sementara itu Harun Nasution juga memberikan pandangannya tentang pembaharuan yang berafiliasi dengan kata modernisasi dengan arti terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman.Pembaharuan atau modernisasi yang dimaksud Harun Nasution lebih tepat dikatakan sebagai sebuah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.
Modern bukan hanya membaharui paham-paham, sikap atau adat istiadat, melainkan lebih luas lagi mencakup pembaharuan institusi-institusi yang dipandang lama untuk disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan yang baru. Pembaharuan atau modernisasi yang dikehendaki Harun Nasution yang diarahkan pada pembaharuan pesantren bermakna, bahwa seharusnya pesantren mengalami perubahan. Tujuannya adalah untuk mencapai perubahan dan penyempurnaan sistem sosial dan lain sebagainya dengan proses yang dilakukan secara mendasar dan sistematis.
2. Reformasi
Reformasi adalah perubahan kepada yang lebih baik. Antonim dari kata reformasi adalah deformasi. Oleh karena itu, gerakan reformasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk memperbaiki praktek-praktek dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun kehidupan yang lebih makmur dan sentosa.
Dalam perspektif pemikiran sosial barat, ditemukan perbedaan antara reformasi dan revolusi. Revolusi menurutnya yaitu perubahan secara total dan komprehensif, sedangkan reformasi adalah perubahan secara parsial dan periferal. Di sini bisa dianalisa, bahwa pemikiran sosial barat berusaha untuk menyempitkan konotasi reformasi. Tapi apabila dilihat dari perspektif Islam, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara reformasi dan revolusi, baik dari aspek kedetailan perubahan yang dilakukan maupun keluasan cakupannya.
Hanya saja kita dapatkan sedikit perbedaan dalam instrumen operasionalnya. Misalnya dalam skala mayoritas, revolusi identik dengan menggunakan cara kekerasan, sedangkan reformasi tidak seperti itu. Namun kendatipun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai sasaran yang cukup mendetail, total dan komprehensif, tidak parsial seperti yang didengungkan oleh barat. Reformasi dalam Islam berjalan secara proses atau menurut B.J. Habibie reformasi adalah proses evolusi yang dipercepat. Reformasi harus dimulai dari manusia sebagai pelaku.
Oleh karena itu sebelum melakukan perubahan yang total dan detail dalam sebuah masyarakat, syarat utama yang perlu dilakukan yaitu perubahan pada diri manusia. Maka dari itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Rasul disebut dengan panggilan-panggilan reformasi (Da’awat al-Ishlah) yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari akar atau realitas yang lebih optimal. Nabi Syu’aib menyatakan bahwa dakwah yang disampaikan kepada penduduk Madyan hanya sebagai upaya reformasi (al-Ishlah).
Nabi Musa mewanti-wanti kepada nabi Harun as, sebagai khalifahnya agar mentradisikan reformasi dan menjauhi jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Ini artinya, bahwa sejak dahulu kala tabi’at manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar, di luar batas kemanusiaannya. Sehingga tidak aneh apabila kezaliman, kepongahan, kerusakan dan keangkuhan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, Allah dengan kekuasaan-Nya menurunkan nabi dan rasul untuk menjadi reformer yang di antara tugasnya menebarkan benih-benih kebaikan dan menumpas kebathilan. Dalam konteks reformasi yang menyeluruh, al-Qur’an dan Hadits senantiasa mengajarkan kepada umat untuk mensosialisasikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat alternatif. Allah berfirman, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”.
Reformasi yang disebut oleh teks-teks agama harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat-tanpa terkecuali kalangan elit, menengah maupun arus bawah- serta seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial-budaya. Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”. Reformasi sejak zaman nabi tidak pandang bulu, baik itu sanak keluarga maupun orang lain harus di sama ratakan, berlandaskan keadilan dan kemaslahatan umum. Karena menegakkan kebenaran dan menumpas kebathilan atau kemungkaran tidak mengenal keturunan dan golongan tertentu (nepotisme).
Dari deskripsi di atas jelas bahwa Islam sebagai agama universal telah menggarisbawahi ajaran reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah masyarakat ideal. Tanpa reformasi, negara yang utama niscaya tidak akan dapat diwujudkan (al-Madinah al-Fadlilah).
3. Revitalisasi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program/ kegiatan. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Jadi, dalam bidang pendidikan Islam-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah (cita-cita yang kuat) terus bisa berlangsung.
Revitalisasi dalam konteks pendidikan Islam maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan Islam yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula. Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya dalam pendidikan Islam.
4. Rekontruksi
Pembaharuan atau rekonstruksi secara terminologi memiliki berbagai macam pengertian, dalam perencanaan pembangunan nasional sering dikenal dengan istilah rekonstruksi. Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re” berarti pembaharuan sedangkan „konstruksi‟ sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti suatu sistem atau bentuk. Beberapa pakar mendefinisikan rekontruksi dalam berbagai interpretasi B.N Marbun mendefinisikan secara sederhana penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula , sedangkan menurut James P. Chaplin Reconstruction merupakan penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan.
Salah satunya seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi rekonstruksi itu mencakup tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan tetap menjaga watak dan karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah. Ketiga, memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik aslinya. Dari sini dapat dipahami bahwa pembaharuan bukanlah menampilkan sesuatu yang benar-benar baru, namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali kemudian menerapkannya dengan realita saat ini. Berdasarkan uraian diatas maka dapat peneliti simpulkan maksud rekonstruksi dalam penelitian ini adalah pembaharuan sistem atau bentuk.
Berhubungan dengan rekonstruksi perencanaan program legislasi daerah maka yang perlu dibaharui adalah sistem perencanaan yang lama digantikan dengan aturan main yang baru.Rekonstruksi tersebut inilah yang nantinya akan menjadi pedoman atau panduan dalam perencanaan pembuatan rancangan peraturan daerah.
5. Reaktualisasi
Menurut KBBI, reaktualisasi adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali, penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Reaktualisasi merupakan salah satu metode yang diusung dalam pembaharuan Islam.
Sejak kemunculan Renaissance pada abad pertengahan, cara hidup dan cara pikir umat manusia mulai berubah. Sehingga berdampak pada terciptanya kehidupan yang hanya mementingkan kepentingan dunia. Renaissance juga merupakan gerbang baru lahirnya peradaban modern. Hadirnya sains modern telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap umat manusia, bukan hanya bukan bidang ekonomi, politik, sosial, namun juga dalam bidang filsafat dan agama. Umat islam pun tidak luput dari pengaruh renaissance tersebut.
Menghadapi rasionalitas ilmiah modern dan permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah pemikiran islam sudah saatnya untuk disegarkan dan dibangun kembali, dengan kata lain perlu diadakannya reaktualisasi khazanah islam yang telah semakin terpendam oleh nilai-nilai baru yang muncul dalam masyarakat. Contoh diatas merupakan gambaran tentang relevansi antara pembaharuan dalam islam dan gerakan reaktualisasi.
Sedangkan perbedaan mendasarnya terletak pada penggunaan konsep reaktualisasi itu sendiri, mengingat reaktualisasi bukanlah konsep yang berasal dari ajaran Islam. Konsep “reaktualisasi” pernah dilakukan oleh orang non-muslim terdahulu untuk menyegarkan nilai-nilai kehidupan mereka dan bangkit dari lingkar kemunduran yang disebabkan oleh dominansi gereja, yaitu pada abad ke-15 hingga abad ke-16.
Akhirnya, reaktualisasi nilai-nilai kehidupan yang dilakukan pada zaman tersebut melahirkan sebuah pemikiran baru yang secara umum berisi tentang keutamaan kehendak manusia, manusia berhak merubah nasib dengan ikhtiar yang maksimal dan satu-satunya pembimbing yang sempurna dan mutlak untuk menuju kearifan dan kebijaksanaan adalah akal manusia. Namun akibat dari pembaharuan nilai tersebut, hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan menjadi tersingkirkan dan tidak dianggap sesuatu yang sakral. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang berpegang teguh pada keyakinan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
6. Reinterpretasi
Pengertian reinterpretasi adalah penafsirkan kembali (ulang); proses, cara, perbuatan menafsirkan kembali terhadap interpretasi yang sudah ada. Reinterpretasi dapat dinilai sebagai kegiatan penafsiran kembali terhadap hukum hukum Islam atau ketentuan-ketentuan yang telah diterapkan sebelumnya. Penafsiran kembali ini dilakukan dengan tujuan kembalinya pemahaman-pemahaman tentang islam yang belum berbaur dengan budaya.
Memurnikan ajaran-ajaran keislaman yang telah melebur kepada kulturisasi budaya masyarakat setempat. Menurut Fazlur Rahman dalam jurnalnya yang berjudul Reinterpretasi Sumber Hukum Islam, dalam Abstrak dituliskan bahwa; membiarkan dua dimensi hukum Islam yakni teks dalil hukum dan fenomena hukum (waqi’at) dalam sifat dan konteksnya masing-masing, jelaskan menimbulkan kesenjangan atau perbedaan antara hukum dengan kenyataan hukum yang dihukumi oleh karena itu Rahman dengan ijtihadnya menganggap perlu perubahan cara pandang dan penafsiran (reinterpretasi) atas sumber hukum Islam.
Rahman membedakan antara Islam historis dan Islam normatif. Islam normatif adalah Islam par excellence, dalam kitab suci dan Sunnah Nabi sedang Islam historis adalah sebagaimana dipahami dan dipraktekkan kaum Muslim. Islam historis inilah yang sering disebut Rahman sebagai tradisi Islam atau tradisi kaum muslim yang memungkinkan dilakukannya Revitalisasi. Ide pemikiran pembaharuan Fazlur Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Alquran dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Alquran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965).
Pandangan Fazlur Rahman ini dilatar belakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum)Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi yaitu perumusan kembali penafsiran Al Qur’an. Dalam kajian historisnya, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi Saw dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi Saw yang kemudian menjelma menjadi ijma atau sunnah yang hidup.
Akan tetapi, persoalannya terletak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Alquran secara benar. Fazlur Rahman menegaskan: “..bukan hanya kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali ke liang kubur dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al Qur’an dan sunnah.
Adapun persamaan reinterpretasi dengan pembaharuan adalah terletak pada acuan kepada penyegaran atau peningkatan pemahaman terhadap pemahaman-pemahaman Islam baik subjektif maupun objektif, sama sama mengandung maksud untuk membawa Islam menuju peradaban yang lebih maju seperti dengan merujuk kepada perkembangan bangsa eropa. Reinterpretasi sendiri lahir karena adanya keinginan umat manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya untuk melakukan pembaharuan.
Perbedaannya sendiri sulit untuk diidentifikasi karena sangat eratnya kesamaan redaksi kalimat antara reinterpretasi dan pembaharuan, perbedaan yang dapat ditangkap oleh penulis adalah bahwa pembaharuan adalah hal yang sudah ada kemudian dibuat menjadi lebih mengikuti zaman atau lebih terbaru sedangkan rainterpretasi adalah dilakukannya penafsiran kembali terhadap pandangan-pandangan tentang keislaman sehingga lahir definisi yang baru.
C. Latar Belakang Pemikiran dan Pembaharuan Islam
Menurut Harun Nasution, bahwa pembaharuan Islam dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu sebagai berikut:
1. Periode Klasik (650-1250 M)
Pada Periode Klasik ini dibagi menjadi masa Kemajuan Islam I dan Disentegrasi
a. Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M)
Pada masa ini yang memerintah daulat islamiyah adalah Khulafaur Rasyidin[2], bani Umayyah, dan Abbas. Khulafaur Rasyidin berkuasa kurang lebih selama 29 tahun, bani Umayyah berkuasa kurang lebih selama 90 tahun, dan bani Abbas berkuasa kurang lebih 500 tahun.
Kemajuan-kemajauan yang dicapai pada zaman Khulafaur Rasyidin antara lain:
- Ekspansi atau perluasan daulat Islamiyah yang meliputi Irak, Suriah, Damaskus, Bizantium, Mesir, Persia, dan Palestina.
- Meredam berbagai pemberontakan dari orang-orang murtad.
- Pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an.
- Penentuan kalender Islam yang bertolak dari masa hijrah Rasulullah SAW dan berdasarkan pada hitungan tanggal berdasarkan peredaran bulan.
- Menetapkan administrasi perpajakan, pengaturan upah, dan lainnya.
Namun demikian usaha yang menonjol di periode itu adalah perluasan wilayah daulat Islamiyah. Kemajuan yang dicapai pada zaman dinasti bani Umayyah antara lain dibidang:
- Ekspansi atau perluasan wilayah yang antara lain menguasai Tunis, Khurasan, Al-Jazair dan Maroko, Spanyol, Perancis, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia jatuh ke tangan Islam di zaman bani Umayyah.
- Kemajuan dalam bidang Administrasi dan Bahasa, yakni dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab. Dimulai oleh Abdul Malik.
- Kemajuan dalam bidang ilmu agama Islam.
- Kemajuan dalam bidang administrasi keuangan.
- Kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam.
Kemajuan yang dicapai pada zaman khalifah Abbasiyah, antara lain:
- Kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Khalifah al-Mansur misalnya mengadakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir ini, ia pilih Khalid Ibn Barmark, seseorang yang berasa; dari Balkh (Bactra) di Persia.
- Kemajuan dalam bidang ekonomi. Khalifah al-Mahdi misalnya melakukan perbaikan dan peningkatan dalam bidang ekonomi. Pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi dan penghasilan gandum, beras, kurma, dan zaitun bertambah. Demikian pula hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi berkembang dengan pesat.
- Kemajuan dalam bidang kesehatan. Di zaman Harun al-Rasyid kehidupan yang makmur, kecukupan dan kemewahan sebagaimana yang dilukiskan dalam cerita 1001 malam telah mewarnai kehidupan masyarakat. Kekayaan yang banyak, digunakan oleh al-Rasyid untuk keperluan sosial.
- Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Di zaman khalifah al-Ma’mun perhatian terhadap pembangunan dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan mengalami peningkatan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan melakukan penerjemahan buku-buku kebudayaan Yunani dengan cara menggaji para penerjemah dari penganut agama lain.
- Kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain didirikan Bait al-Hikmah di Baghdad, dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai Universitas Islam yang terkemuka dan tertua usianya di seluruh dunia.
- Kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman Harun al-Rasyid misalnya didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung-gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi, pertambangan, industri logam, kerajinan, perhiasan, lukisan yang indah, lain sebagainya.
b. Masa Disentegrasi (1000-1250 M)
Menurut Harun Nasution, bahwa disentegrasi dalam arti perpecahan politik dan sulitnya mempersatukan dunia Islam yang demikian luas dalam sebuah pemerintahan yang berpusat di Baghdad, sesungguhnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman bani Umayyah, namun memuncak di zaman bani Abbas, terutama setelah khalifah-khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal.
2. Periode Petengahan (1250-1800 M)
Periode ini dapat pula dibagi ke dalam dua masa, yaitu Masa Kemunduran I dan Masa Tiga Kerajaan Besar. Kedua masa ini akan dijelaskan berikut ini.
a. Masa Kemunduran I
Masa ini terjadi mulai dari tahun 1250 hingga 1500 M. Pada zaman ini Jengiskhan dan keturunannya datang membawa penghancuran bagi dunia Islam. Jengiskhan yang berasal dari Mongolia, setelh menduduki Peking pada 1212 M, ia mengalihkan serangannya ke arah barat. Satu demi satu kerajaan Islam jatuh ke tangannya. Transoxania dan Khawarizm dapat dikalahkan pada 1219. Demikian pula Kerajaan Ghazna dapat dikalahkan (1221 M), Azarbaijan (1223 M), dan Kerajaan Saljuk di Asia Kecil (1243 M). Dari sini ia meneruskan serangannya ke Eropa dan Rusia.
b. Masa Tiga Kerajaan Besar
Selanjutnya, Masa Tiga Kerajaan Besar yang berlangsung dari 1500 M hingga 1800 M, terbagi ke dalam dua fase, yakni fase kemajuan dan kemunduran, dengan penjelasannya secara singkat sebagai berikut:
Pertama, Fase Kemajuan (1500-1700 M)
Fase kemajuan ini dapat dikatakan sebagai fase Kemajuan Islam II, yang pada masa ini terdapat tiga Kerajaan Besar Islam, yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Usmani yang dipimpin oleh Muhammad al-Fatih (1451-1481 M), dari Kerajaan Usmani dapat mengalahkan Kerajaan Bizantium dengan menduduki Istanbul pada 1453 M. Ekspansi ke arah barat dengan demikian berjalan lebih lancar. Tetapi di zaman Sultan Salim I (1512-1520 M) perhatian ke arah barat dialihkan ke arah timur. Persia mulai diserang dan dalam peperangan ini, Syah Ismail dapat dikalahkan dan dipukul mundur.
Adapun Kerajaan Safawi merupakan Kerajaan Besar Kedua di Dunia Islam pada periode pertengahan. Kerajaan Safawi ini berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin (1252-1334 M) dari Ardabil di Azarbaijan. Syekh Safiuddin beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah itu. Cucunya yang bernama Syekh Ismail Safawi dapat mengalahkan dinasti-dinasti lain, terutama kedua suku bangsa Turki Kambing Putih dan Kambing Hitam, sehingga akhirnya dinasti Safawi dpaat menguasai seluruh daerah Persia.
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M) salah satu daru cucu Timur Lenk. Setelah menundukkan Kabul, ia melalui Khybar Pass, menyebrang ke India di tahun 1505 M. Lahore jatuh ke bawah kekuasannya di tahun 1523 M dan empat tahun kemudian India Tengah dapat dikuasainya.
Dengan demikian, kemajuan yang terjadi pada zaman 3 Kerajaan Besar ini atau Kemajuan Islam ini lebih banyak merupakan kemajuan dalam bidang politik. Adapun dalam bidang ilmu pengetahuan sangat kurang, dan lmu pengetahuan di seluruh dunia Islam pada umumnya tengah merosot. Sementara itu thariqat semakin memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat Islam. Selain itu, dengan lahirnya Turki dan India sebagai kerajaan besar, disamping bahasa Arab dan Persia, bahasa Turki dan Urdu juga mulai muncul sebagai bahasa penting dalam Islam. Kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa persatuan semakin bertambah menurun.[3]
Kedua, Fase Kemunduran
Disebut juga fase Kemunduran II, fase ini berlangsung dari tahun 1700 hingga 1800 M. Pada fase ini 3 kerajaan besar tersebut sudah mulai mengalami kemunduran. Setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni, Kerajaan Usmani tidak lagi memiliki Sultan-sultan yang kuat dan besar. Kerajaan ini mulai memasuki fase kemundurannya. Di dalam negeri timbul pemberontakan, seperti di Suriah di bawah pimpinan Kurdi Jumbulat, di Lebanon di bawah pimpinan Druze Amir Fakhruddin.
3. Periode Modern (1880 M-Sekarang)
Periode ini menurut Harun Nasution disebut zaman Kebangkitan Islam. Adanya pendudukan Napoleon di Mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, terhadap kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat. Raja dan pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan Islam. Hubungan Islam dengan Barat pada masa ini berbeda dengan hubungan Islam dengan Barat, sebagaimana yang terjadi di zaman Klasik. Pada masa itu, keadaan Islam sedang menanjak dan mengalami kemajuan, sedangkan Barat dalam keadaan kegelapan.
Namun pada periode modern ini berada dalam sebaliknya. Islam sedang dalam kegelapan dan kemunduran. Adapun Barat dalam keadaan menanjak dan mengalami kemajuan. Pada zaman ini, Islam ingin belajar dari Barat.[4] Dalam keadaan demikian, maka pada periode modern ini, timbulah pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Para pemikir Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang mengandung gagasan tentang metode dan strategi untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam sebagaimana yang pernah terjadi zaman Klasik.
Gagasan, usaha, dan upaya ke arah kemajuan Islam ini mulai dijalankan oleh Umat Islam. Namun berbagai upaya yang dilakukan umat Islam ini tampak jauh tertinggal, dan tidak dapat mengimbangi kemajuan yang dicapai Barat, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, manajemen, keterampilan, etos kerja, ketekunan, dan kedisiplinan dalam membangun negerinya.
D. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam dan Manfaatnya Bagi Kemajuan Umat Islam
1. M. Ibn Abd al-Wahhab dan Gerakan Wahabiyah
Muhammad ibn Abd al-Wahhab lahir di Uyaynah, Nejd, pada tahun 1703 M (1115 H). Sejak kecil ia telah belajar Al-Qur’an pada ayahnya, dan sebelum berusia 10 tahun ia sudah hafal seluruh isi Al-Qur’an. Pengetahuan dasar diperolehnya di kampungnya sendiri dari tokoh-tokoh mazhab Hambali. Sebagian usianya ia habiskan untuk mencari ilmu. Pada saat masa pencarian ilmu ia menyadari ada perbedaan mencolok antara apa yang diajarkan oleh hadis dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Semenjak abad ke 13 umat Islam banyak mengalami kemunduran di berbagai bidang, seperti bidang agama, sosial, dan intelektual. Pengaruh tarekat dan animisme berkembang semakin pekat. Di kalangan tarekat terdapat keyakinan bahwa guru, syaikh dan wali dianggap pemimpin yang bukan saja mengawasi kehidupan lahir murid-muridnya tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi.
Hal ini membuat penghormatan kepada syaikh dan wali menjadi sangat berlebihan. Makam wali dianggap sebagai tempat keramat untuk mereka meminta pertolongan sebagai perantara dari Allah SWT. Selain pengaruh tarekat, terdapat pula pengaruh animisme pada umat Islam dengan menyembah benda mati pada abad ke 13. Dalam karyanya Kasyf al-Syuhbat dikatakan bahwa tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah, dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang dari satu saja dari unsur di atas, maka seseorang tidaklah termasuk orang Islam.
Dalam keadaan masyarakat seperti ini, pada pertengahan abad ke 18, di Jazirah Arab muncul suatu gerakan yang berusaha memurnikan ajaran Islam dengan semboyan kembali kepada Islam yang asli seperti yang dianut dan dipraktikan di zaman nabi, sahabat, serta tabi’in sampai abad ketiga hijiriah. Gerakan ini terkenal dengan nama “Gerakan Wahabi” yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Gerakan Wahabi kemudian disebarkan keseluruh pelosok dunia dengan mayoritas penduduk muslim. Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab mempunyai pengaruh yang besar pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke Sembilan belas. Pemikirannya yang berpengaruh tersebut adalah:
- Hanya Al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
- Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
- Pintu ijtidah terbuka dan tidak tertutup.
2. Muhammad Abduh
Muhamad Abduh disebutkan dalam Encyclopedia of Islam sebagai pendiri aliran modernism di Mesir. Ia tamat belajar agama d al-Azhar dan pada tahun 1897 sebagai guru di Darul ulum, kemudian sebagai editor dalam surat kabar resmi Pemerintah (al Waqai-al Mesriyah) atau kejadian-kejadian di Mesir. Waktu ada pemberontakan di Mesir terhadap Khedire Taufik ia dibuang ke Beirut pada akhir tahun 1882. Dari Beirut ia pergi ke Paris dan bekerja sama dengan Jamaludin al Afghani menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqa.
Terdapat perbedaan besar antara Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh. Jamaludin al Afghani adalah politikus revolusioner yang menghendaki pembangunan umat Islam dengan pemberontakan, sedang Muhammad Abduh menginginkan perbaikan keadaan-keadaan dengan bertahap melalui sistem pendidikan. Muhammad Abduh mengikuti ajaran Ibn Taimiyah dan Ibn Qoyyim al Jauziyah serta Al Ghazali. Muhammad Abduh berpendapat bahwa ilmu pengetahuan baru (science) harus dibimbing oleh agama. Ia juga menjawab serangan Gabriel Hanoteau dengan menulis buku nya: Islam dan Kristen dengan ilmu dan peradaban.
3. Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang besar, seorang politikus yang berkaliber internasional. Walaupun ia pandai dalam agama dan filsafat tetapi ia mencurahkan segala tenaganya untuk menyalakan api semangat kemerdekaan umat Islam. Sejak abad ke XVII umat Islam berada pada masa kemunduran. Kondisi ini meminta para raja dan pemuka agama untuk membangkitkan Islam yang dahulu pernah berjaya. Salah satu cendekiawan itu adalah Jamaluddin al-Afghani.
Jamaluddin al-Afghani berkeyakinan untuk memajukan umat Islam haruslah terlebih dahulu menghapus pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam diluruskan kembali pada ajaran yang sebenarnya. Untuk itu menurut Afghani umat Islam harus menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an. Maka dari itu ia berfikiran bahwa ijtihad masih tetap terbuka. Afghani yang berkecimpung di bidang politik juga mengubah sistem pemerintahan yang bersifat absolut menjadi sistem demokrasi.
Ia juga melontarkan ide pan-islamisme untuk mengeluarkan rasa solidaritas umat Islam yang mempunyai rasa tanggung jawab di mana setiap anggotanya memiliki rasa kebersatuan sehingga dapat hidup berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat dan bekerja sama untuk mentafsir mencapai kesejahteraan kemajuan, dan kemakmuran. Afghani mendirikan Al-Urwah Al-Wutsqa pada saat ia di Paris yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan antar sesama muslim yang beranggotakan Muslim dari berbagai macam Negara.
4. Muhammad Rasyid Ridha
Rasyid Ridha hidup di Cairo, dan menjadi murid setia kepada Muhamad Abduh. Ia adalah pelaksana ide-ide. Muhamad Abduh untuk memperbaiki sistem pelajaran di Al-Azhar. Ia menerbitkan majalah al Manar dan membuat tafsir Muhamad Abduh yang catat setiap ia menghadiri pengajian Muhamad Abduh. Karangan Rasyid Ridha banyak, diantaranya al-Khilafah dan yang paling memuaskan dirinya adalah kitab al Wahyul Muhammady.
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridho memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban barat modern harus dipelajari oleh umat islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhamad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka. Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballigh yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al- Dakwah wa al Irsyad. Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan pada madrasah tradisional.
5. Mustafa Kamil
Mustafa Kamil adalah anak seorang insinyur kaya yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1874 di Kairo. Ia memasuki Fakultas Hukum di Prancis tahun 1981 dan memperoleh ijazah Sarjana Hukum dari Universitas Toulouse. Setelah menyelesaikan pendidikannya ia mengadakan perjalanan yang luas sekali di Eropa untuk mensosialisasikan gagasan mengenai perjuangan kemerdekaan Mesir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaharuan dalam islam memiliki banyak pengertian dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan beragama, kehidupan sehari-hari dan yang menjadi pandangan terhadap berbangsa dan beragama dengan tidak selalu berpikir pada satu hal saja. Pembaharuan islam menyebar dengan cepat dan yang menyebabkan banyak terbentuknya gerakan-gerakan yang pastinya memiliki tujuan masing-masing.
Maka dari itu kita sebagai umat islam sebaiknya menghargai usaha para tokoh-tokoh terdahulu dan terus mengembangkan kemampuan kita sebagai umat Islam, baik ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan, serta tidak membeda-bedakan antar golongan atau sekte semata dengan berkaca pada Islam secara universal atau menyeluruh, agar islam dapat kembali bergerak maju dan kembali kepada kejayaan seperti yang telah diperjuangkan oleh para pemuka agama terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. DKI Jakarta: UI Press, 1985.
Nata, Abuddin. Metodelogi Studi Islam. DKI Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
—. Studi Islam Komperhensif. DKI Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Rais, Amin. Islam dan Pembharuan. DKI Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Rasjidi. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam ditinjau dari Berbagai Aspek”. DKI Jakarta: PT Bulan Bintang, 1983
__________________
[1]. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang 1975), cet. I, hlm. 10
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, hlm.35-36
[3]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Op.cit., hlm. 145-150
[4]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Op.cit., hlm. 175
Baca juga: Karya Tulis