Makalah Aspek Fiqih Dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam beribadah tentunya pasti ada tata cara dan aturannya. Dalam Al-Qur’an sudah banyak dijelaskan mengenai tuntunan dan caranya namun tidak terlalu spesifik. Oleh karena itu para sahabat banyak meriwayatkan tentang hadits-hadits tata cara dalam beribadah ataupun bermuamalah. Semua itu dirangkum dalam kitab-kitab kajian pada Aspek Fiqih. Dalam kitab fiqih banyak kajian tentang tata cara beribadah dan hukum sesuatu dengan spesifik dan juga rinci.
Hukum Islam dalam Aspek Fiqih merupakan aspek yang sangat luas ketika dipaparkan. Banyak hukum-hukum yang memerlukan penjelasan lebih atau lain sebagainya. Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini kami akan membatasi permasalahan dalam pengkajian ilmu fiqih dalam Aspek Fiqih (Hukum Islam) di dalam rumusan masalah sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan Fiqih?
- Apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqih?
- Apa yang dimaksud dengan qaidah fiqhiyah?
- Apa Hubungan antara Fiqih dengan Syari’ah?
- Apa Latar Belakang lahirnya fiqih?
- Siapakah Ulama dalam bidang ilmu Fiqih?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk lebih mengetahui asal usul mengenai ilmu fiqih beserta sumbernya, segala aspek perbedaan dan persamaan antara fiqih dan juga syari’ah, bagaimana ruang lingkup fiqih dalam islam, bagaimana kita menanggapi berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu Fiqih, semoga dengan dibuatnya makalah ini kami semua dapat mengetahui lebih lanjut tentang ilmu fiqih dan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih
Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqh. Semuanya dalam bentuk kata kerja. Dalam surat At-taubah ayat 122 “Liyatafaqqhuu Fiddin” yang artinya adalah “Untuk mendalami ilmu Agama”. Didalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik disisi-Nya diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama”.
Dalam ayat dan Hadits ini, dapat ditarik kesimpulan satu pengertian bahwa Fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi pengertian Fiqh dalam arti yang sangat luas sama dengan pengertian syari’ah dalam arti yang sangat luas. Inilah pengertian Fiqh pada masa sahabat atau pada abad pertama dalam Islam.[1]
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa “Pada Permulaan Islam orang-orang yang ahli didalam agama yang selalu mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an, tahu tentang nasikh mansukh, tahu tentang ayat ayat yang mutasyabih dan muhkamah serta tahu tentang pemahaman-pemahaman yang mereka dapatan dari Rasulullah saw. Disebut dengan al-qurra’. Mereka disebut al-quraa’ karena mereka membaca Al-Qur’an dan masih jarang pada masa itu orang yang dapat membaca.” [2]
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah daerah Islam meluas dan setelah istinbath menjadi mapan serta Fiqh menjadi ilmu yang tersendiri, maka Fiqh diartikan dengan; “Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad”. Atau yang lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh Al-Jurjani berikut ini:
“Fiqh menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan seseorang pembicara. Menurut istilah: Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum syara yang amaliah (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (Penelitian) dan memerlukan wawasan serta perenungan. Oleh sebab itu Allah tidak bisa disebut sebagai “Faqih” (ahli dalam fiqih), karena baginya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.” [3]
Al-Ghazali dari mazhab Syafi’I mendefinisikan Fiqh dengan “Faqih berarti mengetahui, mendalami, dan memahami. Akan tetapi dalam tradisi para ulama, Faqih dapat diartikan tentang suatu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para mukalaf. Seperti wajib, sunnah, mubah, makruh, sah, fasid, batal, qodla, ada’an dan haram.”
B. Pengertian Ushul Fiqih
Setelah kita mengetahui pengertian Fiqh, akan timbul pertanyaan dari mana datangnya fiqh itu, apa sumbernya atau dalilnya, bagaimana cara beristinbat hukum sehingga menghasilkan hukum wajin, sunnah, haram, makruh, dan mubah? Itu semua dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh.
Ushul itu bentuk jamak, sedang bentuk mufradnya adalah ashl, yang mengandung makna sumber atau dalil yang menjadi dasar sesuatu atau juga berarti yang kuat. Disebut ilmu ushul fiqh karena ilmu ini menjadi dasar atau pondasi ilmu fiqh.
Imam Al-Ghazali menakrifkan ushul fiqh dengan “Ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’, dan tentang bentuk-bentuk penunjukan dalil tadi terhadap hukum. Sedangkan menurut Abd Wahhab Khalaf memberikan definisi kepada ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara yang amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.”[4]
C. Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kaidah Fiqhiyyah itu mencakup rahasia-rahasia syara’ dan hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya”. Jadi, kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ (fiqh) menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Sebagai contoh, ada kaidah fiqh yang berbunyi, “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (dengan sempurna) jangan ditinggalkan seluruhnya”. Maksudnya apabila kita melaksanakan sesuatu yang baik dan tidak sanggup melaksanakan secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang baik itu harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kaidah ini berlaku bagi berbagai macam-macam fiqh di dalam berbagai bidang fiqh. Misalnya didalam fiqh ibadah: Apabila tidak mampu sholat sambil berdiri maka di perbolehkan sholat sambil duduk, jika duduk juga masih belum mampu maka di perbolehkan untuk berbaring. Didalam bidang mu’amalah: pakailah saksi yang adil, jika tidak ada yang adil maka gunakanlah saksi meskipun keadilannya dinilai kurang, dan masih banyak lagi kaidah dibidangnya.
Dalam menerapkan kaidah fiqhiyah secara umum kita harus berhati-hati karena banyak perbedaannya Kita juga harus memahami betul tentang ushul fiqhnya karena banyak perbedaan pendapat didalamnya.
D. Hubungan Fiqih dengan Syari’ah
Kata Syari’ah mempunyai konotasi hukum yang suci sepenuhnya dan mengandung nilai-nilai uluhiyah. Syari’ah mengingatkan kita kepada wahyu dan atau sunnah nabi. Sedangkan fiqh mengingatkan kita kepada ilmu hasil ijtihad.
Syari’ah dan Fiqh bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan, Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:
- “Ukuran bagi semua tingkah laku manusia. Baik didalam syari’ah maupun didalam fiqh adalah sama yakni mencari keridhoan Allah SWT dengan menaati suatu sistem hukum yang sangat sempurna”.[5]
- Seorang mujtahid yang menghasilkan fiqh, berarti mengerahkan segala kemampuannya untuk menggali sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah. Karena itulah rupanya ada Hadits yang menyatakan bahwa, “Apabila seorang hakim berijtihad kemudian benar hasil ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala dan apabila salah tetap mendapatkan satu pahala”.[6]
E. Latar Belakang lahirnya Ilmu Fiqih
Pada umumnya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli dan bersifat umum. Demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’I yaitu jelas dan tegas. Dan kadang-kadang bersifat dhani yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.[7]
Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhsyiah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan. Oleh karena itu Al-Sunnah ada untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadits yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Hingga akhirnya pada zaman Rasulullah pun Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga sahabat. Hal ini dilakukan agar Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunani. Hanya saja Ijtihad pada masa Rasulullah tidak seluas pada zaman sekarang, karena banyak masalah masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadats besar) yang kemudian berguling-guling di pasir karena tidak menemukan air. Ternyata cara ini salah hingga akhirnya diluruskan oleh Rasullullah jika sedang berjunub kemudian tidak ada Air makan cukup dengan bertayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena: “Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah”.[8]
F. Ulama dalam bidang ilmu Fiqih
Ulama Fiqh pertama yaitu Imam Abu Hanifah (80-150 H/696-767 M) Beliau dilahirkan dengan nama Nu’man Bin Tsabit. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Hanifa, bukan karena mempunyai anaka bernama Hanifah namun asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari ayat “Faat Abi’u millah Ibrahia Hanifa” (Maka ikutilah agama Ibrahim yang Lurus. Al-Imran ayat 95). Beliau bukan orang Arab tetapi keturunan orang Persia yang menetap di kuffah. Yang menonjol dari Fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah: Sangat rasional, mementingkan maslahat, dan manfaat, mudah dipahami daripada mazhab lain.
Abu Hanifah juga adalah ulama besar yang sangat cerdas, ikhlas, dan tegas dalam bersikap, mempunyai integritas pribadi dan memiliki daya Tarik tersendiri. Kitab beliau yang paling masyhur adalah Fiqh Al-Akbar, ‘Aliim Mutta’alim, dan Musnad.
Ulama Fiqh kedua yaitu Imam Malik (93-178 H/711-795 M) beliau dilahirkan di Madinah dengan nama Malik bin Annas bin Ammar. Kakek Imam malik yang memiliki nama Ammar berasal dari Yaman. Beliau adalah orang yang soleh, sangat sabar, ikhlas dalam berbuat, mempunyai daya ingat dan hafalan yang kuat serta kokoh dalam pendiriannya. Beliau ahli dalam Fiqh dan Hadits, kitab al-Mudawanah al-Kubra adalah kitab standar dari Mazhab Maliki, dan Beliau juga memiliki murid kesayangan yang bernama Muhammad bin Idris Asyafi’ie yang akhirnya muridnya juga seorang ulama yakni Imam Syafi’ie.
Muhammad bin Idris (150-204 H/ 767-822 M) beliau lahir di Ghaza, Palestina. Beliau biasa disebut dengan nama Imam Syafi’e adalah murid dari Imam Maliki. Imam Syafi’i masih keturunan nabi Muhammad SAW dari silsilah Ayahnya. Beliau merupakan anak Yatim dan Fakir. Imam Syafi’i dibawa oleh ibunya ke Mekkah pada umur ke 10 tahun. Sejak mulai saat itu beliau sudah menghafalkan Al-Qur’an dan banyak mendapatkan ilmu Hadits dari para Ulama di Mekkah. Saking Fakirnya Imam Syafi’i pada saat itu beliau sering memungut kertas lalu dipakai untuk menulis ilmu. Hingga akhirnya beliau pergi ke Kabilah Hudzail Karena menyadari Bahasa Al-Qur’an sangatlah indah dan akhirnya ia mempelajari sastra Arab, saking cerdasnya beliau sampai menghafal sepuluh ribu bait syair-syair Arab, yang dimana belum tentu anak seumurannya begitu cerdas dan cepat menghafal sebanyak itu. [9]
Beliau pun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan Ilmu hingga akhirnya beliau berada di Mesir untuk memberi pelajaran tentang fatwa-fatwanya yang kemudian terkenal dengan nama Qaul Jadid. Sedangkan Fatwanya ketika di Baghdad adalah Qaul Qadim, hingga akhirnya beliau meninggal di Mesir dan pada saat itu Gubernur Mesir ikut memandikan dan menyolatkan jenazahnya. Dan kitab beliau yang paling masyhur adalah Ar-Risalah yaitu kitab Ushul Fiqh yang menjadikan rujukan ulama dan umat muslim hingga saat ini.
Ulama yang terakhir adalah Imam Ahmad bin Hanbali (164-241 H) beliau dilahirkan pada Rabi’ul Awal tahun 164 H, di baghadad, Bapak dan ibunya berasal dari Kabilah Arab, sejak kecil beliau sudah menghafal Al-Qur’an dan sangat tertarik dengan Agama, dan juga mengenai bahasa dan sastra Arab. Beliau memiliki daya ingat yang sangat kuat, beliau juga sangat ulet dalam berbagai hal, dan memiliki pendirian yang teguh.
Beliau tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau mempunyai banyak catatan tentang Hadits, Kitab Musnad Ahmad bin dalam Hadits, disusun, dikumpulkan oleh putranya yang bernama Abdullah. Bahkan untuk masalah Fiqh beliau tidak mencatatnya namun akhirnya ditulis oleh murid-muridnya.
Keempat ulama tersebut adalah ulama yang paling berperan penting dalam pengkajian ilmu Fiqh, oleh karena itu kita perlu mengetahuinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Fiqh merupakan ilmu yang sangat penting di kehidupannya, dengan mengetahui aspek fiqh dan hukum Islam hidup kita lebih teratur, dan Ilmu Fiqh tidak bisa berdiri sendiri karena Ilmunya berkaitan dengan satu sama lain seperti Ilmu Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh, dan lain sebagainya dan juga dengan mengetahui latar belakang mengapa terciptanya Ilmu Fiqh sangat penting agar kita mengetahui fungsi utama Ushul Fiqh, dan juga Para ulama yang yang telah menyambung terus ilmu Fiqh agar tidak terputus hingga zaman sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
H. A. Djazuli. Ilmu Fiqih: Pendahuluan, Jakarta: Kencana.
Abu al-Rahman. Ibn Khaldun: Muqaddimah. Mesir: Dar al-Fikr.
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, Ilm Ushkul al-Fiqh, al-Dar al-Quwaytiyah, cetakan ke-8, tahun 1968.
Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Muhammadan Law, alih bahasa Arifin Bey, dengan judul: Pokok-pokok hukum Islam, Tintamas, Jakarta, Cetakan ketiga, 1965, jilid I
Ibn al-Qayyim Al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-alamin, Dar a;-layl, Bayrut,t.t, Juz III
Yusuf Musa, Muhammad Dr., Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kitab al-Arabi, 1958.
Ali as-Sayis, Muhammad, Tarikh Attasyri al-Islam, Mathba’ah Muhammad Ali Shubbi, tanpa tahun.
__________________
[1] Ilmu Fiqih, Prof. H.A Djazuli, Pendahuluan, Kencaa, Jakarta, hlm. 4
[2] Ibn Khaldun, Abu al-Rahman, Muqaddimah, Dar al-Fikr, Mesir, hlm.446
[3] Al Jurjani, Abu Hasan, At-Ta’rifat, Mustafa Al-Baab Al-Halaabi, Mesir, 1938, hlm. 121
[4] Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, Ilm Ushkul al-Fiqh, al-Dar al-Quwaytiyah, cetakan ke-8, tahun 1968, hlm. 12
[5] Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Muhammadan Law, alih bahasa Arifin Bey, dengan judul: Pokok-pokok hukum Islam, Tintamas, Jakarta, Cetakan ketiga, 1965, jilid I hal. 32
[6] Ibn al-Qayyim Al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-alamin, Dar a;-layl, Bayrut,t.t, Juz III Hlm. 3
[7] Yusuf Musa, Muhammad Dr., Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kitab al-Arabi, 1958, hal. 20
[8] Ali as-Sayis, Muhammad, Tarikh Attasyri al-Islam, Mathba’ah Muhammad Ali Shubbi, tanpa tahun, hal.35
[9] Ali as-Sayis, Muhammad, Tarikh Attasyri al-Islam, Mathba’ah Muhammad Ali Shubbi, tanpa tahun, hal.35
Baca juga: Karya Tulis