Makalah

Makalah Pengalaman Umat Islam Dalam Mengembangkan Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
    Di karenakannya terjadi kemunduran pada ilmu pengetahuan Islam, kami mencari tahu apa saja faktor-faktor penyebab dari kemunduran tersebut. Maka dari itu kami membuat makalah ini untuk di jadikan sebagai materi pembelajaran. Adapun judul yang akan kami bahas yaitu Pengalaman Umat Islam dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan yang merupakan hal yang patut kita ketahui khususnya umat Islam dalam rangka menumbuhkan sikap antusias terhadap ilmu pengetahuan. Agar kami dapat mengetahui sejarah dari pengalaman umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. 
 
B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengalaman umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan?
  2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh cendekiawan muslim?
  3. Bagaimana proses perkembangan dan pembentukan pendidikan Islam di Indonesia?
 
C. Tujuan Penulisan Makalah
    Kami membuat makalah ini berdasarkan referensi yang telah ada dan telah memenuhi standarisasi. Selain itu makalah ini dibuat sebagai pemenuh tugas dari Islam dan Ilmu Pengetahuan.
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Pengalaman Umat Islam dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan
    1. Pada zaman Rasulullah Saw
    Rasulullah Sholallahu’alaihi Wasallam menegaskan akan pentingnya mempelajari ilmu hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya hadits yang menganjurkan seseorang muslim mempelajari ilmu. Seperti dalam haditsnya Rasul SAW bersabda:

“طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة”

Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim laki laki dan muslim perempuan”.
 
    Pada zaman ini Islam baru dikenali dan belum menyebar luas ke penjuru dunia hingga belum diadakannya pengembangan terhadap ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama. Pada zaman ini sahabat belajar kepada Rasulullah dan menjaga adabnya kepada beliau. Belum ada proses tulis menulis kitab atau buku pada zaman ini. Pada awal-awal Islam baru dikenali, Rasulullah memberikan pelajaran melalui hadits-haditsnya serta firman Allah Ta’ala di rumah sahabat yang bernama Al Arqom, namun setelah berkembang Rasulullah memberikan pelajaran kepada sahabat sahabatnya di pelataran Masjid.
 
    2. Pada zaman Sahabat (Khulafaur Rosyidin)
  • Pada zaman Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq belum diadakan ekspedisi dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, namun sudah mulai dilaksanakan penulisan al-Qur’an yang awalnya hanya ada dikepala para sahabat penghafal al-Qur’an ke media-media seadanya dengan anjuran dari Sayyidina Umar bin Khattab dikarenakan banyak peperangan yang menyebabkan banyak penghafal al-Qur’an yang tewas.
  • Pada zaman Sayyidina Umar bin Khattab sudah dilakukan ekspedisi penyebaran agama Islam ke luar tanah Arab, Islam mulai berkembang pada zaman ini.
  • Pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan, al-Qur’an yang sudah ditulis sejak zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga zaman Khalifah Umar bin Khattab mulai dikumpulkan hingga menjadi satu mushaf
  • Pada zaman Sayyidina ‘Ali bin Abu Tholib, banyak diantara kaum muslimin membaca al-Qur’an dengan logatnya masing-masing hingga Kholifah Ali bin Abi Tholib memerintahkan Abul Aswad Ad-Dualli untuk mengajarkan kaum muslimin ilmu nahwu dan shorof, pada zaman ini bermula adanya ilmu nahwu shorof.
3. Pada Zaman Bani Umayah
  Pengembangan ilmu agama dan ilmu pengetahuan baru dimulai terutama dalam penulisan hadits.
 
4. Zaman Bani Abbasiyah
    Pada zaman ini, pada zaman ini banyak ulama yang mulai mengarang kitab-kitab yang bersandar kepada al-Qur’an dan hadits serta pemahaman beliau dan pengamalan beliau dalam ilmu, seperti Al Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali. Pada zaman ini banyak juga pengembangan ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan muslimin. Pengembangan-pengembangan ilmu tersebut diantaranya ilmu kedokteran, matematika, optika, geografia, fisika, astronomi, dan sejarah. Ilmuan muslim yang mengembangkan ilmu diantaranya:
  • Dalam bidang astronomi tercatat nama antara lain al-Fazari (yang pertama kali menyusun astrolab, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang) dan al-Farghani.
  • Dalam bidang optika terdapat nama Abu Ali Al-Hasan bin Al-Haytham yang mencetuskan teori bahwa benda mengirimkan cahaya ke mata hingga mata dapat melihat benda yang bersangkutan.
  • Dalam bidang kimia terdapat nama Jabir bin Hayyan dan Abu Bakar Al-Razi.
  • Dalam bidang fisika terdapat nama Abu Raihan Muhammad Albaituni.
  • Dalam bidang geografi terdapat nama Abu Al-Hasan Ali Al Mas’ud.
  • Dalam bidang kedokteran terdapat nama Al-Razi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Al-Razi telah mengarang banyak buku diantaranya buku tentang penyakit cacar dan buku yang berjudul “Al-Hawi” yang membahas berbagai cabang ilmu kedokteran. Ibnu Sina mengarang buku yang berjudul “Al-Qonun Fi Al-Thib”, ia seorang perintis mengenai ilmu jaringan tubuh.
  • Dalam bidang pertanian terdapat nama Abu Muhammad Dhiyauddin Ibn Baithar.
  • Dalam bidang ilmu hewan terdapat nama Abu Sa’id Abu Malik Ibn Kuraib Al-Ashma’i, Abu Usman Amr Ibn Bahr Al-Jahiz, Abu Hatim Mahmud Ibn Hasan Al-Thabari.
  • Dalam bidang arsitektur terdapat nama Uqba Ibn Nafi.
  • Dalam bidang filsafat terdapat nama Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
  • Dalam bidang ilmu sosial terdapat nama Ibnu Khaldun.
  • Dalam bidang ilmu tafsir terdapat nama tafsir Ibnu Abbas.
  • Dalam bidang ilmu hadits terdapat nama Imam Bukhari dan Imam Muslim.
  • Dalam bidang fikih terdapat nama Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
B. Pendidikan Islam di Indonesia Pembentukan dan Perkembangannya
    1. Tempat ngaji dan pesantren
   Tradisi pendidikan Islam muncul seirama dengan proses Islamisasi itu sendiri. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam transmisi pengetahuan agama kepada masyarakat luas. Pada awa abad ke-19, di Indonesia belum mengenal sistem pendidikan modern atau pendidikan model belanda. Sistem pendidikan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional. Sebelum abad ke-20 Indonesia hanya mengenal satu jenis pendidikan saja dari apa yang di sebut dengan “lembaga pengajaran asli”, yaitu sekolah-sekolah agama Islam dengan berbagai bentuk (masjid, langgar, surau, pesantren).[1] Sistem pendidikan ini menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama. Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam mulai tumbuh, meskipun masih bersifai individual. Transmisi pengajaran Islam termasuk didalamnya pengajaran al-Qur’an pada masa ini masih sangat bersifat informal. Masyarakat, anak-anak dan orang dewasa, belajar membaca dan menghafal al-Qur’an dari orang-orang yang lebih dulu bisa membaca (tidak harus menguasai ) al-Qur’an. Selain itu, banyak muballigh, ulama, atau bahkan pedagang muslim yang sedang mengadakan perjalanan (melewati kampung) akan singgah beberapa hari di desa itu untuk mengajar agama.
    Istilah pesantren, terutama di Jawa dan Madura, muncul pada 1960-an. Sebelumnya, nama pondok lebih populer dibanding istilah pesantren. Zamakhsyari Dhofier menduga bahwa istilah “pondok” berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu, atau istilah “pondok” yang berasal dari bahasa Arab, funduq, yang berarti hotel atau asrama.[2]. Istilah “pesantren” itu sendiri berasal dari kata dasar “santri” yang mendapat imbuhan pe+an (pe+santri+an = pesantren). Jadi, pesantren adalah tempat tinggal para santri.[3]
    Salah satu ciri pesantren yang paling penting adalah lingkungan yang sepenuhnya total. Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan sistem sekolah umum yang berlaku sebagai “struktur pendidikan secara umum” bagi bangsa, pesantren adalah sebuah kultur yang unik. Tiga unsur pokok yang membangun sub-kultur pesantren adalah
  • Pola kepemimpinannya yang berdiri sendiri yang berada diluar kepemimpinan pemerintahan desa.
  • Literatur universal yang telah dipelihara selama beberapa abad.
  • Sistem nilainya sendiri yang terpisah dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat diluar pesantren.[4]
 Independensi pesantren memungkinkan bagi pesantren untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri dan menetapkan institusi-institusi pendidikannya sendiri dalam rangka merespon tantangan-tantangan dari luar.[5] Terbentuknya lembaga pesantren kebanyakan berasal dari sebuah komunitas pengajian. Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, misalnya memulai karirnya dari pengajian yang hanya diikuti oleh delapan siswa. Dalam waktu 20 tahun pengajian ini telah berkembang menjadi sebuah pesantren besar yang memiliki 200 santri. Sepuluh tahun kemudian jumlah santrinya melonjak jadi 2000-an santri.
    Tujuan ideal pesantren dan peran para alumninya akan menginternalisasikan ajaran-ajaran Islam kedalam masyarakat luas. Peran Islamisasi yang mereka lakukan dengan sendirinya akan mengikis pemahaman agama masyarakat yang sinkret. Dengan demikian selain sebagai agen perubahan sosial, pesantren juga berperan penting dalam memperjuangkan Islam terhadap sinkretisme Jawa.[6] Oleh karena itu, menurut Soebardi, sejak abad ke-19 pendidikan pesantren telah mampu melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh mistis dan animistis yang bersumber dari tradisi pra-Islam.[7]
 
    2. Madrasah
    Kebangkitan madrasah di dunia Islam menandai munculnya lembaga pendidikan formal Islam. Madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan sebagai tempat tinggal mahasiswa.[8]
 
    3. Pendidikan non-formal
    Pengajian al-Qur’an yang berpusat di langgar atau surau, masjid dan rumah-rumah penduduk atau rumah-rumah guru ngaji yang bersangkutan merupakan bentuk pendidikan Islam luar sekolah yang paling awal dan juga paling sederhana.[9] Perkembangan berikutnya, dari lembaga pendidikan yang tidak lebih dari sekedar kumpulan anak-anak kampung yang belajar membaca al-Qur’an dan beberapa aspek, shalat dan semacamnya, yang berubah bentuk serta muatannya menjadi madrasah diniyah, kelompok pengajian kitab, pesantren, madrasah dan sebagainya.
 
    4. Perguruan Tinggi Agama Islam
    Umat Islam Indonesia selalu mencari berbagai cara untuk membangun sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai dari pesantren yang sederhana sampai kepada tingkat universitas. Menurut laporan Mahmud Yunus perguruan tinggi Islam di Indonesia, adalah Sekolah Islam Tinggi yang didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang. Perguruan tinggi ini didirikan pada 9 Desember 1940 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus sendiri.[10]
 
C. Tokoh Cendekiawan dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan
    1. Ja’far Syekh Idris
    Wan Moh Nor menulis dalam The Educational Philosophy tentang respon-respon lain pada ide Islamisasi ilmu pengetahuan, diantaranya dari Ja’far Syekh Idris beliau adalah seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Ia dianggap oleh beberapa penulis sebagai cendekiawan populer. Dalam pertemuan tahunan AMSS (Association of Muslim Social Scientists) pada Juni 1975 ia mengungkapkan bahwa ilmu Barat itu berdasarkan ideologi yang salah dan ilmu itu bukanlah semata-mata metode dan batang tubuh fakta-fakta melainkan juga ideologi yang mengungkapkan batasan-batasan ilmiah dan menetukan bentuk teori-teori penjelasannya serta pemakaiannya. Oleh karena itu, ia menyarankan agar paca cendekiawan muslim membawa pandangan Islam kedalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi ilmu sosial Islam. 
 
    2. Ziauddin Sardar
    Beliau adalah doktor dibidang fisika kelahiran Pakistan tahun 1951 dan mengenyam pendidikan di Inggris. Sardar dikenal sebagai cendekiawan pioner dalam studi-studi futuristik yang mengelola jurnal-jurnal bergengsi seperti Futures dan Third text.[11] Sejak awal tahun 1980-an ia cukup rajin menulis dibeberapa majalah ilmu pengetahuan terkemuka. Sebagai koresponden Nature, ia pernah berkeliling kebeberapa negara muslim untuk meneliti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disana. Ide Sardar tentang Islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada kritikan-kritikannya yang cukup keras terhadap sains Barat. Latar belakang Sardar yang saintis dan profesinya sebagai jurnalis, membuat kritikan-kritikan Sardar terhadap sains Barat berkembang. Ia tidak saja mengkritik kelemahan sains Barat secara epistimologi, filosofi, tapi Sardar juga memainkan isu-isu kemoderenan seperti isu lingkungan hidup akibat dampak negatif sains. 
    Sardar mengemukakan empat argumen tentang perlunya ilmu pengetahuan Islami. Pertama, bahwa dalam sejarah setiap peradaban besar menciptakan sistem ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda; kedua, peradaban Islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik; ketiga, ilmu pengetahuan barat bersifat destruktif terhadap umat manusia, hingga ke akar-akarnya; keempat, ilmu pengetahuan barat tak dapat memenuhi kebutuhan material, kulturan dan spiritual masyarakat muslim. Dititik inilah Sardar masuk untuk menawarkan alternatif Islam.
 
3. Ibnu Rusyd
    Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova pada tahun 510 H/1126 M. Namanya lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois. Ibnu Rusyd adalah ilmuan dalam bidang filsafat. Karya-karya Ibnu Rusyd dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yaitu:
  • Tahafut at-Tauhid. Kitab ini menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali 
  • Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min ittishal. Kitab ini berisi hubungan antara filsafat dan agama
  • Al-Kasyf’an manahij al-Adillat fi ‘aqa’id al-Milat. Kitab ini berisi kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi
4. Ibnu Sina 
    Ibnu sina dilahirkan dalam masa kekacauan dan kemunduran daulat Bani abbasiyah di mana daerah-daerah yang pada awalnya berada dibawah kekuasaan khalifah Abbasiyah mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri yaitu pada tahun 370 H/980 M. Nama lengkapnya ialah Al-Syaikh al-Raiss Abu Ali Alhusain Bin Abdullah Bin Sina. Ia adalah ilmuan yang sangat berpengaruh dalam bidang kedokteran
    Karya-karya ibnu sina dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan ialah:
  • Al-shafa, yaitu buku filsafat yang terdiri dari 4 bagian yaitu logika, matematika, fisika dan metafisika
  • Al-najar yaitu ringkasan dari buku Al-shafa 
  • Al-isharat wa al-Tanbithar
  • Al-qonun fi at-Thibi atau canon of medicine, yaitu buku tentang kedokteran 
4. Al Farabi
    Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Larkhan Ibn Uzalagh. Al Farabi dilahirkan di kota wasij pada tahun 259 H/872 M ia adalah seorang filsof muslim yanga banyak meninggalkan karya karya penting dalam bidang yang digelutinya. Karya karyanya sangat banyak diantaranya:
  • Maqalah fi aghrad al hakim fi kulli maqalah min al-Kitab al-Marsun bi al-Huruf, buku ini berisi tentang verifikasi terhadap buku Aristoteles yang berjudul Tahqiq Ghard Aristatalis fi kitab ma ba’da al-Tabiat
  • Al- tawti’ah fi al-Mantiq, yaitu kitab tentang ilmu mantiq
  • Al ta’liqat
  • Al-jam’u baina ra’yat al- Hakimain aflatun wa aristu
 
BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan 
    Pada masa Rasulullah SAW perkembangan ilmu pengetahuan berjalan cukup lambat namun ketika masa khalifah masih sedikit berkembang. Akan tetapi ketika masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami puncak kemajuan dikarenakan perhatian penuh dari para raja Abbasiyah yang berpusat di kota Baghdad. Kemudian mengalami kemunduran setelah Dinasti Abbasiyah hancur yang diserang oleh bangsa Mongol. Setelah itu tidak ada lagi perkembangan ilmu pengetahuan yang ditinggalkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Contohnya seperti Teropong Bintang dan Ilmu Kedokteran yang disebut Qanun Fii Thib. 
    Menurut kami Pengalaman yang dimiliki umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan sebuah hal yang patut diapresiasi karena banyak sekali ilmu pengetahuan yang telah dipengaruhi oleh aspek nilai-nilai ke-Islaman. Islam juga banyak berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan selain itu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan telah banyak melahirkan para cendekiawan muslim.
 
DAFTAR PUSTAKA 
 
Wahid, Abdurrahman. “Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan”.
Rahardjo, M. Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1995.
Ziemek. Manfred. Pesantren dan Perubahan Sosial.
Soebardi, S. “Islam di Indonesia”. Prisma, Nomor Ekstra Tahun VII, 1978.
Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan, 1994.
Karel A. Steenbrink. Pesantren, Madrasah, Sekolah.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Sardar, Ziauddin. Kembali ke Masa Depan, Jakarta: Serambi, 2003.
Husaini, Adrian, dkk. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Nata, Abuddin. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
 
 
__________________
[1] I. J Brugmans, “Politik Pengajaran”, dalam H. Baudet dan I. J Brugmans (eds.), Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 176. 
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 18. 
[3] Abdurrahman Wahid, “Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (editors), Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 266. 
[4] Abdurrahman Wahid, “Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan”, hlm. 266; Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Sub-kultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 39-60. 
[5] Ibid 
[6] Ziemek. Manfred, Pesantren dan Perubahan Sosial, hlm. 249. 
[7] S. Soebardi, “Islam di Indonesia”, Prisma, Nomor Ekstra Tahun VII, 1978. hlm. 72. 
[8] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 45. 
[9] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 31. 
[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 117. 
[11] Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan, Jakarta: Serambi, 2003.

Baca juga: Karya Tulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *