Makalah

Makalah Penerapan Etika yang Ideal Akhlak Al-Fadhilah

BAB I 
PENDAHULUAN 
 
A. Latar Belakang Masalah 
    Setiap manusia selalu erat kaitannya dengan etika, baik ketika manusia tersebut berperilaku dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan kerja. Manusia sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya tidak dapat lepas dari etika. Kehidupan manusia yang sarat akan kepentingan dan tujuan membuat manusia terkadang melupakan pentingnya keberadaan etika yang sebenarnya melekat pada diri mereka masing-masing. Manusia itu sendiri hendaknya selalu bertindak dan bekerja sesuai etika yang diterapkan di lingkungan kerja mereka masing-masing serta mengingat kembali etika tersebut agar ia dapat bertindak dan bekerja dengan mengutamakan etika daripada kepentingan dan tujuan masing-masing pribadi. 
    Selain akhlak kita juga mengenal istilah etika. Etika juga sangat berkaitan dengan perilaku dan perbuatan. Maka dari itu, kita akan membahas mengenai etika ideal (al-akhlak dan al-fadillah) dan pencabangannya. Etika harus lebih dipahami kembali dan diaplikasikan di dalam lingkungan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang tidak sadar dan tidak mengetahui makna etika dan peranan etika itu sendiri. Sehingga, bermunculanlah mahasiswa-mahasiswi yang tidak memiliki akhlaqul karimah, seperti mahasiswa yang tidak memiliki sopan dan santun kepada para dosen, mahasiswa yang lebih menyukai hidup dengan bebas, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas antara mahasiswa dengan mahasiswi, berdemonstrasi dengan tidak mengikuti peraturan yang berlaku. 
    Etika sangat penting dikalangan mahasiswa saat ini untuk menciptakan kehidupan ilmiah dan kondusif dalam kampus, membangun hubungan yang kondusif antara dosen serta mengetahui, memahami, dan melaksanakan peraturan-peraturan yang berlaku di kampus. 
 
B. Rumusan Masalah 
    Berdasarkan Latar Belakang Masalah, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 
  1. Apa pengertian dari etika ideal? 
  2. Apa saja pencabangan etika ideal? 
  3. Bagaimana cara menerapkan etika ideal? 
C. Tujuan Penulisan 
    Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan menambah wawasan keilmuan tentang etika ideal (al-akhlak dan al-fadillah) dan pencabangannya. 
 
BAB II 
PEMBAHASAN 
 
A. Pengertian Etika 
    Menelusuri asal-usul etika tak terlepas dari asli kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Dalam kata lain seperti dalam pemaknaan dari kamus Webster berarti “the distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person, group, or institution”. Karakter Istimewa Sentimen, tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok atau institusi. Dalam makna yang lebih jelas lagi etika di definisikan sebagai studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja. Disini etika dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan disaat bersamaan juga sebagai filosofinya dalam berperilaku.[1] Kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah di Al-Qur’an yakni Al-Khuluq atau Akhlaq. 
 
B. Ahklak menurut Imam Ghazali 
    Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. 
    Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan dengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.[2]
 
C. Etika Ideal Akhlaq Al-Fadhilah 
    Dalam pembahasan tentang keutamaan akhlak dititik beratkan pada pembahasan tentang sifat-sifat yang terpendam dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan lahiriah. Karena sifat atau keadaan batin dapat berbolak balik, baik atau jelek, maka tingkah laku manusia bisa menjadi baik atau buruk. Jadi akhlak yang utama itu adalah akhlak terpuji yang lahir dari jiwa baik dan benar yang terdidik melawan sifat yang buruk, dan terbiasa melakukan kebaikan. 
    Dalam membahas cabang-cabang akhlak al-fadhilah terdapat beberapa pembagian menurut para tokoh, dan satu sama lain berbeda dalam membaginya. Adapun untuk membahas percabangan akhlak al- fadhilah, maka terlebih dahulu memulai dengan membahas tentang empat talenta dalam kekuatan akhlak menurut Ibn Miskawaih, antara lain: 
1. Kebijaksanaan. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud ada, baik yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini membuahkan pengetahuan rasional yang mampu memberi keputusan antara kewajiban dan larangan. Miskawaih juga memberi pengertian bahwa kebijaksanaan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat “ma la yanbaghi wa kama la yanbaghi”. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masing-masing keutamaan memiliki cabang yang sangat banyak sesuai perkembangan istilah. Miskawaih menjelaskan bahwa terdapat enam keutamaan yang termasuk dalam al-Hikmat kebijaksanaan ini, yaitu: 
  • Ketajaman intelegensi intellegenci, 
  • Kuat ingatan retention, 
  • Rasionalitas rationality, 
  • Tangkas dan jernih pemikiran quickness and soundness of understanding, 
  • Jernih ingatan pemahaman clarity of mind, 
  • Mudah dalam belajar capacity for learning easily. 
    Asmaran As, (1994: 208) secara sederhana, yang dimaksud dengan kebijaksanaan ini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan, berupa apapun, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional.[3]
2. Keutamaan dalam Al-Adil yaitu: tidak pilih kasih, tidak memihak, jujur, benar dan rasional. Adapun sisi dalam berbuat adil jika yang melakukan hal tersebut terlalu berlebihan atau tidak menerapkan yaitu: dzolim, aniaya dan kejam. 
3. Keutamaan dalam As-Syaja’ah atau berani yaitu: berjiwa besar, pantang menyerah, optimis, tawakkal, kesatria, berwibawa. Sisi berlebihan dan kekurangan dalam bersikap berani/syaja’ah adalah pengecut dan nekat. 
4. Keutamaan dalam Iffah (Suci) adalah: mampu mengendalikan diri, ramah, malu, dermawan, merdeka dan qona’ah. Sisi berlebihan dan kekurangan dalam menerapkan sifat iffah adalah dingin hati dan serakah. 
 
    Keempat sifat tersebut merupakan sifat Universal, jika sudah memiliki keempat akhlaq ini maka dunia akan tentram dan damai. 
 
D. Akhlaq Ideal Rasulullah 
   Akhlak yang baik (akhlaq al-karimah) merupakan prasyarat mutlak yang menentukan derajat seseorang. Akhlak berkaitan dengan soal bagaimana seseorang menuntut ilmu-ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Seorang Muslim yang baik mencintai ilmu tanpa harus bersikap sombong lantaran telah merasa lebih mengetahui. Dalam konteks inilah, sosok Rasulullah SAW dapat dipandang sebagai figur yang paripurna. 
     Dalam artikelnya pada Jurnal Ijtimaiyya (Februari, 2014), Deden Makbuloh menulis bahwa Rasulullah SAW telah mencapai puncak keilmuan. Sebagai utusan Allah, Beliau mengetahui hukum Alquran sampai sedetail-detailnya kemudian menyampaikan serta menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu, Rasulullah SAW merupakan teladan sekaligus sumber rujukan utama dan pertama bagi segenap kaum Muslimin, baik yang hidup sezaman dengannya maupun generasi-generasi kemudian. 
    Dalam sebuah hadis riwayat at-Thabrani, Nabi Muhammad SAW mengimbau segenap kaum Muslim, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau orang yang belajar, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka kamu akan binasa”. 
  Sebagai sumber ilmu-ilmu agama Islam, Rasulullah SAW menumbuhkan dan mengembangkan sunnah sebagai referensi bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Rasulullah SAW mendidik umatnya melalui sunnah agar mereka selamat di dunia dan akhirat. Sebagai pendidik, papar Makbuloh, Nabi Muhammad SAW menerapkan sejumlah prinsip yang dapat ditiru oleh orang-orang saat ini. 
    Pertama, kemudahan akses. Rasulullah SAW hidup berbaur dengan umatnya, baik di Makkah, Madinah, atau di daerah manapun yang sempat disinggahi Beliau. Dalam memberikan pengajaran, Rasulullah SAW tidak menempatkan hijab antara diri beliau dan para sahabat. 
    Nabi SAW juga tidak pernah menghalangi seseorang dari menjumpai Beliau hanya lantaran status sosialnya. Malahan, Rasulullah SAW memilih tempat-tempat yang strategis sebagai lokasi majelis ilmu. Makbuloh mencontohkan, Rasulullah SAW sempat memakai rumah seorang sahabatnya, al-Arqam, sebagai tempatnya mengajarkan Alquran ketika di Makkah. 
    Saat itu, Islam masih disebarluaskan dengan cara sembunyi-sembunyi demi menghindari konflik terbuka dengan kaum musyrik. Tidak jarang pula rumah Nabi Muhammad SAW sendiri yang menjadi lokasi majelis. Ketika Islam mulai kukuh, utamanya selama di Madinah, masjid menjadi lokasi yang lebih kerap dipilih Nabi SAW sebagai tempatnya mengajarkan Alquran serta menyampaikan pesan-pesan. Biasanya, kegiatan ini dimulai setelah pelaksanaan shalat berjamaah. 
    Kedua, keanekaan peran. Kadangkala, Rasulullah SAW tidak cukup hanya berperan an sich sebagai pendidik. Seringpula, beliau menjalankan fungsi selaku hakim, pemberi saran, atau pemimpin yang memberikan instruksi. Ini semua bergantung pada konteks keadaan dan persoalan yang sampai kepadanya. 
    Seturut dengan itu adalah prinsip ketiga, yakni efektivitas. Rasulullah SAW selalu peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan kadar kemampuan akal mereka. Sebab, tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau pesan-pesan tidak akan menimbulkan kesalahpahaman. 
    Makbuloh menjelaskan, Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan perbedaan kadar tiap lawan bicaranya. Kepada orang yang dinilai cerdas, beliau cukup menggunakan isyarat. Adapun dengan orang yang daya tangkapnya terbatas, maka Beliau menjelaskan dengan contoh-contoh yang lebih konkret. 
    Sebagai contoh, tulis Makbuloh, adalah sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah: Seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, kemudian berkata: Istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam dan aku tidak mengakui anak itu. Rasulullah SAW bertanya: Engkau mempunyai unta? Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya lagi: apa warna kulit untamu itu? Ia menjawab: Merah. Beliau bertanya: Apakah pada kulitnya terdapat warna kelabu hitam-hitam? Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya lagi: Dari mana warna itu? Ia menjawab: Mungkin warna itu berasal dari keturunannya. Maka beliau berkata: Inipun (anak lelaki Bani Fazarah itu-Red) mungkin saja berasal dari keturunannya. 
    Rasulullah SAW juga selalu hati-hati dalam menentukan sikap. Bila suatu kejadian belum mendapatkan hukumnya berdasarkan firman Allah, maka Beliau lebih memilih diam hingga mendapatkan petunjuk dari-Nya. Bila sudah ada hukumnya, maka penerapan yang paling mudah dan sesuai itulah yang dipilih Beliau. Dalam sebuah hadis yang terhimpun Musnad Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Ajarkanlah, permudahlah dan jangan mempersulit”. 
    Keempat, kesabaran. Hal ini terutama berkaitan dengan cara Alquran diturunkan Allah kepada Nabi SAW melalui Malaikat Jibril. Kitab Suci ini sampai secara berangsur-angsur, tidak seketika utuh. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan Alquran dan menerapkannya seiring dengan tahapan-tahapan turunnya Alquran itu. Proses pengajaran ini memerlukan waktu yang panjang dan daya juang yang tinggi. 
    Kelima, hubungan yang erat. Meskipun berkedudukan amat mulia, baik di tengah umat manusia maupun di hadapan Allah, Rasulullah SAW menyukai kerendahan hati. Sebab, itulah kunci untuk menjalin komunikasi dan relasi yang baik dengan siapapun. Dengan demikian, pengajaran ilmu pengetahuan akan lebih diterima dengan simpati dan mendapatkan khalayak yang semakin luas. 
    Keenam, menghindari kecenderungan monoton. Adalah wajar bagi seseorang untuk bosan dalam menghadapi rutinitas. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membuat pengajarannya secara variatif. Selain untuk mengelak dari kebosanan, cara ini juga berfungsi membuat para pendengarnya lebih terkesan. Makbuloh mengutip hadis riwayat Ibnu Masud: Nabi SAW memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mauidzah kepada kami karena beliau khawatir kami merasa bosan. 
    Segenap prinsip pengajaran itu dapat bermuara pada fungsi akhlak di tengah manusia. Betapa pentingnya persoalan akhlak ini di atas ilmu. Sekalipun, umpamanya, yang disampaikan seseorang itu hanyalah ilmu sains murni tetapi cara pengajarannya dengan akhlak, maka itu lebih bernilai islami karena sesuai dengan keteladanan Rasulullah SAW. Apatah dengan pengajaran ilmu-ilmu agama. 
    Oleh karena itu, cakrawala keilmuan seorang ulama hendaknya berbanding lurus dengan keluhuran budi pekerti yang bersangkutan di tengah masyarakat. Bila tidak demikian, ulama tersebut dapat dikatakan belum utuh mengikuti akhlak Rasulullah SAW.[4]
 
E. Penerapan Akhlak Ideal 
    Akhlak bukanlah sekedar fenomena iuran yang bersifat incidental, sehingga tidak semua yang tampak seperti kebaikan adalah baik dalam makna hakiki. Ketika kebaikan itu tidak didasarkan dengan ketulusan hati, maka kebaikan itu adalah keburukan yang berselimuti kebaikan. Persoalan akhlak bukanlah persoalan perilaku sederhana tetapi merupakan persoalan perilaku yang kompleks yang berkaitan langsung dengan keadaan rohani. Pembahasan perbaikan akhlak harus diawali dengan perbaikan bati. Karena itu tepatlah jika ibn Miskawai (W. 1030) dalam tahzib al-Akhlaq mendefinisikan akhlaq sebagai: “Kondisi jiwa yang mendorong terwujudnya perilaku tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan”. (Ibn Miskawai, T.T. : 37).[5]
    Ada beberapa penerapan akhlak ideal yaitu: 
1. Akhlak terhadap Allah Swt. 
    Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang semua makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum memuji-Nya, bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya, sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-160, yang artinya: “Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura (42): 5 menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.” Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44, menetapkan: “Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.” 
    Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9, menerangkan: “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil” dapat diterjemahkan sebagai pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Oleh karena itu, maka perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Jadi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari keterbatasan dirinya dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]: 36). 
 
2. Akhlak terhadap sesama manusia. 
  Al-Quran menjelaskan perlakuan sesama manusia, baik berupa larangan, seperti membunuh, menyakiti badan atau harta tanpa alasan yang benar, juga termasuk larangan menyakiti hati, walaupun disertai dengan memberi. Lihat Al-Qur’an (QS. al-Baqarah [2]: 263); 
      Selain itu, al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar, termasuk Nabi Muhammad Saw. dinyatakan pula sebagai manusia biasa, namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar ini beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain, seperti dalam al-Quran (QS. al-Hujurat [49]: 2; QS. an-Nur [24]: 63); 
    Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi) (QS. an-Nur [24]: 27 dan 58); 
    Salam yang diucapkan wajib dijawab dengan salam yang serupa, dan dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS. an-Nisa [4]: 86);  Setiap ucapan harus ucapan yang baik (QS. al-Baqarah [2]: 83 dan QS al-Ahzab [33]: 70); 
    Seseorang tidak boleh mengolok-olokkan orang lain atau kelompok lain dan tidak boleh memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Demikian juga seseorang tidak boleh berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing orang lain. Al-Quran menjelaskan juga di antara ciri-ciri orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134-135); 
    Selain itu, al-Quran menetapkan harus mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri” (QS al-Hasyr [59]: 9). 
 
3. Akhlak terhadap lingkungan. 
    Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan di sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. 
    Berkaitan dengan hal ini, al-Quran surat al-Anʻam (6): 38 menegaskan bahwa binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya merupakan umat-umat juga seperti manusia, sehingga semuanya tidak boleh diperlakukan secara aniaya, baik dalam masa damai maupun ketika terjadi peperangan. 
    Termasuk mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali jika terpaksa, tetapi ini pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan (QS al-Hasyr [59]: 5). 
    Dengan pengakuan semua milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada dalam genggaman-Nya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan (QS at-Takatsur (102): 8). Manusia dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. 
    Pernyataan Allah dalam al-Quran surat al-Ahqaf (46): 3, mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, tetapi juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. 
    Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam. Yang menundukkan alam menurut al-Quran adalah Allah. Mereka tidak sedikitpun mempunyai kemampuan, kecuali berkat kemampuan yang dianugrahkan Tuhan kepadanya (QS az-Zukhruf [43]: 13). 
    Oleh karena itu manusia harus mengusahakan keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus bersahabat. Al-Quran mengharuskan setiap orang mukmin untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. yang diutus membawa rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana hadits riwayat at-Timidzi dari Abu Dardaˋ yang menjelaskan bahwa beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur.”[6]
 
BAB III 
PENUTUP 
 
A. Kesimpulan 
    Rasulullah menganjurkan ummatnya untuk berbuat baik dalam gerak gerik atau perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari, berakhlak mulia dalam bertindak melakukan sesuatu. Akhlak dan etika merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan dan dibina dengan kepada anak didik kita agar anak-anak terbiasa melakukan hal-hal yang baik, sopan santun dalam bergaul, terutama terhadap kedua orang tua, terhadap teman sebaya, juga terhadap para tetangga. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
Badroen, Faisal. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005 
Shodiq, Akhmad. “Probelmatika Pengembangan Pembelajaran PAI”. TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol 3 No. 1, Januari 2009, Hlm. 40 
Jurnal Etika ideal Akhlak Al-Fadhilah. Di unduh pada Rabu, 12 Desember 2018 pada pukul 13. 42, dengan Alamat web. https://text-id.123dok.com/document/9yng2430z-etika-ideal-akhlak-fadhilah.html
Jurnal peranan akhlak di kehidupan seorang muslim oleh Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH (Ketua LSI & Dosen Fakultas Hukum) Di unduh pada Rabu, 12 Desember 2018 pukul 15. 20 dengan alamat web https://www.unisba.ac.id/index.php/id/illustrations/item/88-peranan-akhlak-dalam-kehidupan-seorang-muslim
 
 
__________________
[1] Drs. Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam. UIN Jakarta Pass, Ciputat 2005. hlm. 5 
[2] Jurnal Al-Cayeet oleh Muhammad Ali, yang ditulis pada Februari 2012, yang diakses pada Rabu, 12 Desember 2018 pukul, 13. 55. Dengan alamat web http://alcayet.blogspot.com/2012/02/etika-imam-al-ghazali-selayang-pandang.html 
[3] Jurnal Etika ideal Akhlak Al-Fadhilah. Di unduh pada Rabu, 12 Desember 2018 pada pukul 13. 42, dengan Alamat web, https://text-id.123dok.com/document/9yng2430z-etika-ideal-akhlak-fadhilah.htm 
[5] Akhmad Shodiq, “Probelmatika Pengembangan Pembelajaran PAI”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol 3 No. 1, Januari 2009, Hlm. 40 
[6] Jurnal peranan akhlak di kehidupan seorang muslim oleh Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH (Ketua LSI & Dosen Fakultas Hukum) Di unduh pada Rabu, 12 Desember 2018 pukul 15. 20 dengan alamat web https://www.unisba.ac.id/index.php/id/illustrations/item/88-peranan-akhlak-dalam-kehidupan-seorang-muslim

Baca juga: Karya Tulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *