Makalah

Makalah Dinamika Ruhani

BAB I 
PENDAHULUAN 
 
A. Latar Belakang
    Manusia diciptakan di bumi ini melainkan disuruh hanya untuk beribadah. Manusia juga diciptakan dalam bentuk paling bagus dan sempurna serta mempunyai dua sifat yaitu akal dan nafsu. Jika akal yang menang maka manusia itu akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, akan tetapi jika nafsu itu menang dan akal kalah maka yang terjadi adalah kekacauan, kerancuan yang kesemuanya itu bersifat negatif serta cuma akan mendapatkan kebahagian yang semu atau kebohongan kebahagiaan. 
    Manusia dilahirkan juga memiliki potensi-potensi bawaan yaitu akal, nafs, qalb, ruh. Akal berfungsi untuk mengetahui hakekat segala sesuatu. Kemudian nafs adalah dorongan atau hasrat untuk melakukan sesuatu baik itu buruk atau baik. Sedangkan qalb berperan sebagai mukhathab (pihak yang diajak bicara), yang bisa merasakan kesusahan, bisa merasakan akibat dan bisa dituntut. 
 
B. Rumusan Masalah 
  1. Apa peran daya daya ruhani (al-Nafs, al-Aql, dan al-Qolb) dalam pengambilan keputusan batin? 
  2. Bagaimanakah dinamika ruhani ketika menetapkan akhlak baik dan buruk? 
  3. Apakah pengertian dari Al-khawatir? 
  4. Apa perbedaan waswas, hawajis, ilham dan khathir haq? 
  5. Apa maksud dari intensitas Al-Khawatir? 
C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui peran daya daya ruhani (al-Nafs, al-Aql, dan al-Qolb) dalam pengambilan keputusan batin. 
  2. Untuk mengetahui dinamika ruhani ketika menetapkan akhlak baik dan buruk. 
  3. Untuk mengetahui pengertian dari Al-khawatir. 
  4. Untuk mengetahui perbedaan waswas, hawajis, ilham dan khathir haq. 
  5. Untuk mengetahui maksud dari intensitas Al-Khawatir. 
 
BAB II 
PEMBAHASAN 
 
A. Nature dan Peran Daya-daya Ruhani 
1. Al- Nafs. Nafsu dalam istilah psikologi lebih dikenal dengan sebutan konasi atau daya karsa, konasi dalam bentuk bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan atau berkehendak. Aspek konasi ini ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan dorongan untuk berbuat. Nafsu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : 
    a. Ghadab 
  • Lawwamah, memiliki kecenderungan loba dan tamak, serakah dan suka makan banyak dan enak, sedangkan pengaruh yang ditimbulkan adalah kikir, tidak jujur, malas, dan mengejar kenikmatan. 
  • Ammarah, nafsu ini digolongkan dengan dua macam, yaitu: Pertama, pada manusia, nafsu ini memiliki kecenderungan untuk berkelahi, meniru, membantu, berteman. Pengaruh yang ditimbulkan adalah berani, kejam, persatuan, dan gotong royong. Kedua, pada seseorang, nafsu ini memiliki kecenderungan murka, keras kepala, suka mencela, suka melawan, dan suka berkelahi. Memelihara diri sendiri, dengan melepaskan diri, mencari perlindungan, benci, dan membangun. Pengaruh yang ditimbulkan adalah tolong menolong, marah, bergaul, dengki,cemburu, berontak, takut, dan takwa. 
    b. Syahwat 
  • Supiah, memiliki kecenderungan insting ibu-bapak, kesukaan diri ingin tahu, suka campur tangan, rendah diri, berketuhanan. Pengaruh yang ditimbulkan adalah memberi makan anak, sombong, gemar menyelidiki, mengomel, hidup mewah, ingin kuasa, penghambaan dan tawakkal. 
  • Muthmainnah, memiliki kecenderungan berkemanusiaan, kebijakan (etika), kesusilaan (moral), kecintaan, keadilan, dan keindahan (estetika). Pengaruh yang ditimbulkan adalah budi luhur, jiwa yang suci, tata susila, sabar, pengorbanan, ridha, dan menciptakan keindahan. 
    Pada prinsipnya, nafsu selalu cenderung pada hal yang sifatnya keburukan, kecuali nafsu tersebut dapat dikendalikan dengan dorongan-dorongan yang lain, seperti dorongan intelek (akal), dorongan hati nurani (qalb), yang selalu mengacu pada petunjuk-Nya. Tanpa kendali akal dan hati, nafsu akan mendominasi kehidupan manusia, yang bertahta sebagai tuhannya. 
    Demikianlah gambaran tentang manusia yang memiliki unsur materi dan immateri. Semua itu merupakan karunia yang luar biasa yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta. Hal ini merupakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, yaitu dengan menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Dengan penciptaan manusia yang begitu sempurna sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu manusia tersusun dari dua unsur : materi dan immateri, jasmani dan rohani. Lebih lanjut manusia dengan kesempurnaan penciptaannya baik jasmani dan daya-daya rohaninya akan sanggup melaksanakan sebuah misi besar tugas manusia yang terdapat dalam Q.S. Az-Zariyat : 56. 
    Begitu juga dengan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain yang diciptakan Allah, yaitu dengan daya-daya ruhani yang lengkap seperti ruh yang berfungsi menghidupkan, hati dengan fungsi memberi pertimbangan dan memutuskan dengan arif bijaksana dan akal berfungsi sebagai daya pemikir, penalar, mengidentifikasi dan mengelola daya nafsu untuk didorong kepada nafsu yang tenang/muthmainnah apalgi bila dilengkapi dengan daya khatir atau cetusan hati yang mengarah pada kebaikan. Dengan demikian, pantaslah manusia dengan kesempurnaan daya ruhani menjadi khalifah di bumi ini, dan akan sanggup untuk mengelola dan memimpin jagad raya ini. hal tersebut sesuai dengan Firman Allah Q.S. Al-Baqarah : 30. 
2. Al- Aql 
   Manusia memiliki sesuatu yang tidak ternilai harganya, anugerah yang sangat besar dari Tuhan, yakni akal. Sekiranya manusia tidak diberi akal, niscaya keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan. Dengan adanya akal, segala anggota manusia, gerak atau diamnya akan berarti atau berharga. Akal digunakan untuk berpikir dan memperhatikan barang yang ada di alam ini, sehingga benda-benda dan barang-barang yang halus serta tersembunyi, dapat dipikirkan kegunaan dan manfaatnya. Jika akal digunakan dengan semestinya, niscaya tidak ada benda-benda atau barang-barang di dunia ini yang sia-sia bagi manusia. 
  Dengan akal, manusia dapat menghubungkan sebab dan akibat dan dapat mengerti lambang-lambang bahasa. Dengan akal, manusia melahirkan kebudayaan, mengubah benda-benda yang bersifat alami menjadi benda-benda yang sesuai dengan kehendak dan kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia berpikir atau menggunakan akalnya supaya cerdas dan membuahkan manfaat yang baik dan berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat umum. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir, niscaya mudah rusak dan tidak berguna apa-apa. 
    Dalam pandangan Al-Ghazali, akal mempunyai empat pengertian, yaitu: 
  • Sebutan yang membedakan manusia dengan hewan. 
  • Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akil baligh, sehingga dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk. 
  • Ilmu-ilmu yang di dapat dari pengalaman sehingga dapat dikatakan “siapa yang banyak pengalaman, maka ia orang yang berakal.” 
  • Kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriyah untuk menerawang jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan. 
 Walaupun akal memiliki keterbatasan-keterbatasan, tetapi manusia dituntut mempergunakan akal sebaik-baiknya, karena itu merupakan anugerah dari Allah Subhaanahuwata’ala. 
    Dinamika Al-Aql. Dalam kenyataan sehari-hari diketahui bahwa kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan tidak berdiri sendiri dan tidak serta-merta. Akal mengetahui melalui berbagai proses kematangan. Dinamika penyerapan pengetahuan tersebut diawali dari pengetahuan empiris melalui panca indra yang mengalami kematangan fisiologis secara bertahap. Pada usia sekitar tujuh tahun baru ada sarana pengetahuan rasional yakni dengan munculnya daya pembeda (al-tamyiz) yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai tahapan lain dari wujud. Daya ini mampu melampaui indra dan membentuk dalil-dalil aksiomatis (pengetahuan daruriy). Beberapa tahun kemudian muncullah daya akal yang lebih sempurna. Dengan daya akal itu seseorang dapat mengetahui hal-hal yang wajib, jaiz, dan mustahil serta hal-hal yang terdapat pada tahapan sebelumnya. Pada fase selanjutnya terbukalah sepasang mata batin yang mampu melihat alam gaib dan menyaksikan apa-apa yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang serta berbagai permasalahan metafisika lainnya.[1]
3. Al-Qolb 
    Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah tubuh itu seluruhnya, dan anggota-anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik. Ia adalah hati. 
    Dengan hadis ini jelas bahwa yang pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin yang dipatuhi dalam dunia tubuh, dan yang lainnya adalah rakyat. Hati, memiliki dua arti, yaitu: 
    Pertama, daging berbentuk pohon cemara yang terletak pada dada sebelah kiri. Didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber ruh. Daging ini, dalam bentuknya seperti itu, terdapat pula pada tubuh binatang dan orang-orang yang sudah mati. 
   Kedua, luthf rabbani ruhani, yang memiliki kaitan dengan daging ini. Luth rabbani ini adalah mengenal Allah SWT. Ia mengetahui apa yang tidak dicapai khayalan pikiran. Ia merupakan hakikat manusia. Inilah yang diajak bicara. Terhadap makna ini ditunjukkan dengan firman Allah Swt.: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati (QS. Qaf: 37). Kalau yang dimaksud dalam ayat ini adalah hati yang seperti pohon cemara, maka itu terdapat pada diri setiap orang.[2]
    Qolb atau hati termasuk rahasia manusia, yang merupakan anugerah dari Allah. Dengan qalb ini manusia mampu beraktivitas sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah. Qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh badan yang sehat sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan ahli biologis. Nabi Muhammad Shallallaahu’alaihiwasallam bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim: “Sesungguhnya didalam jasad manusia ada terdapat segumpal daging, apabila baik, maka baiklah semua anggota tubuh, dan jika rusak, maka rusaklah semua anggota tubuh, ketahuilah ia itu adalah Qalbu.” 
 
B. Dinamika Ruhani Ketika Menetapakan Akhlak Baik dan Buruk 
    Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak, antara lain: 
  1. Nurani. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing-masing individu memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. 
  2. Rasio. Rasio adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan rasio yang dimiliki, manusia dapat menimbang mana perkara yang baik dan yang buruk. Dengan akalnya, manusia dapat menilai bahwa perbuatan yang berakibat baik layak disebut baik dan dilestarikan, dan begitu sebaliknya. Penilaian rasio manusia akan terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki. 
  3. Adat. Adat istiadat yang berlaku dalam kelompok ataupun masyarakat tertentu menjadi salah satu ukuran baik dan buruk anggotanya dalam berperilaku. Melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan masyarakat sekitarnya ataupun kelompoknya akan menjadi problem dalam berinteraksi. Masing-masing kelompok atau masyarakat tertentu memiliki batasan-batasan tersendiri tentang hal-hal yang harus diikuti dan yang harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh suatu masyarakat belum tentu demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang mereka anggap baik dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka. 
  4. Pandangan Hidup. Kelompok atau masyarakat tertentu memiliki anggota kelompok atau masyarakat yang secara individual memiliki pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang di kelompoknya. Masing-masing individu memiliki kemerdekaan untuk memiliki pandangan dan pemikiran tersendiri meski harus berbeda dengan kelompok atau masyarakatnya. Masing-masing individu memiliki hak untuk menentukan mana yang dianggapnya baik untuk dilakukan dan mana yang dianggapnya buruk. Tidak mustahil apa yang semula dianggap buruk oleh masyarakat, akhirnya dianggap naik, karena terdapat seseorang yang berhasil meyakinkan kelompoknya bahwa apa yang dianggapnya buruk adalah baik. 
  5. Norma Agama. Seluruh agama di dunia ini mengajarkan kebaikan. Ukuran baik dan buruk menurut norma agama lebih bersifat tetap, bila dibandingkan dengan ukuran baik dan buruk di mata nurani, rasio, adat istiadat, dan pandangan individu. Keempat ukuran tersebut bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Ukuran baik dan buruk yang berlandaskan norma agama kebenarannya lebih dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, karena norma agama merupakan ajaran Tuhan Yang Maha Suci. Disamping itu, ajaran Tuhan lebih bersifat universal, lebih terhindar dari subyektifitas individu maupun kelompok. 
C. Pengertian Al-Khawatir 
    Al-Khawatir adalah pikiran atau perintah yang datangnya secara tiba-tiba pada diri manusia. Menurut Imam Al-Ghazali, al khathir (bentuk tunggal dari al-khawatir) adalah sesuatu yang menggerakkan hati manusia. Semua perilaku manusia bermula dari al-khathir, dan al-khathir menggerakkan kecintaan (al-raghbah), dan kecintaan menggerakkan keinginan yang kuat (al-‘azam), dan keinginan yang kuat menggerakkan niat (kesadaran diri dan komitmen untuk melakukan sesuatu), dan niat menggerakkan perbuatan anggota tubuh. 
   Abd al-Qadir al-Jailani (pendiri tarekat Qadiriyah) dalam Syarqawi (1979:59-66), al-Qusyairi dan al-Kalabadzi, membagi al-khawatir dalam empat kategori: 
1. al-khathir al-syaithani, bisikan dari setan yang disebut dengan waswas. Karakternya membisikkan jiwa manusia untuk berbuat maksiat, kekufuran, kefasikan, kemusyrikan, dan perbuatan yang merusak. Al-Mahasiby (1969:66) mengemukakan bahwa tanda-tanda waswas adalah membisikkan kepada manusia untuk meninggalkan ibadah wajib dan ibadah sunat serta mengajak berbuat maksiat dan mengkonsumsi hal-hal syubhat (Perhatikan QS. Al-Isra’: 53 dan Thaha: 120-124). 
    Kehadiran waswas dalam jiwa manusia sangat halus, sehalus aliran darah yang mengalir di tubuh manusia. Begitu Halusnya sehingga seseorang sulit menghalanginya. Waswas akan lebih sulit diidentifikasi ketika menyelubung pada perbuatan yang baik. 
2. al-khathir al-insani, bisikan dari dalam manusia sendiri yang terdiri atas: a) al-khathir al-‘aql, yang karakternya terkadang baik mengikuti perintah ilahi, dan terkadang menyesatkan mengikuti perintah syaithani. b) al-khathir al-nafs (al-hawajis), yang mengajak manusia untuk mengumbar nafsu-nafsu implusif dan primitifnya, seperti menghalalkan semua cara, memakan makanan yang haram, dan mengikuti hawa nafsu. Baik buruknya al-khathir al-insani sangat tergantung pada kendali diri. Jika seseorang mampu mengendalikan dirinya dengan berpegang teguh pada pada hukum-hukum Allah Swt maka al-khathir ini menjadi baik. 
3. al-khathir al-maliki, bisikan yang datangnya dari malaikat Allah. Karakternya membisikkan manusia untuk berbuat taat, jujur dan ikhlas kepada Allah Swt. Sehingga mengakibatkan selamat dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 
4. al-khathir al-rabbani, bisikan yang datangnya langsung dari Allah SWT. Yang disebut juga al-khathir al-ruh atau al-khathir al-yaqin. Para Nabi dan Rasul memperoleh anugerah ini melalui mu’jizat, sedangkan para wali Allah mendapatkannya melalui karomah. Firman Allah SWT. : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) 
 
    Bisikan yang berasal dari Tuhan tidak dibedakan dengan bisikan yang berasal dari Malaikat, sebab malaikat hanyalah pesuruh Allah. Malaikat merupakan makhluk Allah yang tidak punya daya pilih dan ia tidak melakukan apapun kecuali atas perintah-Nya.[3]
 
D. Perbedaan Was-was, Hawajis, Ilham dan Khathir Haq 
    Al-khawatir mempunyai pengertian yang berbeda antara para penempuh jalan kesucian dengan orang awam. Awam berpendapat bahwa khawatir adalah hal-hal yang bernada negatif, mencemaskan kejadian dimasa mendatang yang akan berakhir dengan hal-hal buruk, sedangkan yang dimaksud al-khawatir dalam ilmu kesufian adalah bisikan-bisikan jiwa, yang menghujam kedalam rasa. Penekanannya terletak pada pembawanya, bila bisikan-bisikan jiwa itu datangnya dari syaithon disebut was-was, jika muncul dari hawa nafsu disebut hawajis. Dan bila datangnya dari malaikat disebut ilham. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah SWT disebut Khatir Haq atau bisikan kebenaran. 
  Dikatakan bahwa, orang yang terlalu banyak makan makanan haram tidak akan bisa membedakan antara ilham dan was-was. Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil. Apabila bisikan itu datangnya dari syaithon, rata-rata mengundang pada kemaksiatan. Begitu pun yang datang dari hawa nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menuruti syahwat. 
    Imam Junayd ra., membedakan antara hawajis dengan was-was: Bahwa nafsu itu (hawajis), apabila menuntut anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi anda. Sementara syaithon (was-was), ketika menjerumuskan anda melalui godaannya, kemudian anda menentangnya, maka syaithon akan kembali mempengaruhi anda dengan godaan lainnya. Sebab secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi syaithon, anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya tidak ada peringanan dalam penjerumusan itu.[4]
 
E. Intensitas Al-Khawathir 
  Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar. 
    Apabila bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swt. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq). 
   Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur. 
    Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas. 
   Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadap nafsunya.” 
    Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan membisikkan sesuatu kepada Anda. 
    An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa nafsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan itu. 
    Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba tidak menentang-Nya.” 
    Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutnya. “Apabila bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”[5]
 
BAB III 
PENUTUP 
 
A. Kesimpulan
    Nafsu dalam istilah psikologi lebih dikenal dengan sebutan konasi atau daya karsa, konasi dalam bentuk bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan atau berkehendak. Manusia memiliki sesuatu yang tidak ternilai harganya, anugerah yang sangat besar dari Tuhan, yakni akal. Al-Qalb juga mempunyai makna dua, yaitu daging yang terdapat di dada sebelah kiri dan Lathifah Rabbaniyah Ruhaniyyah 
    Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam ilmu akhlak yaitu: Nurani, Rasio, Adat Istiadat, Pandangan Hidup dan Norma Agama. 
    Al-Khawatir adalah pikiran atau perintah yang datangnya secara tiba-tiba pada diri manusia. Menurut Imam Al-Ghazali, al khathir (bentuk tunggal dari al-khawatir) adalah sesuatu yang menggerakkan hati manusia. 
    Perbedaan was-was, hawajis, ilham dan khathir haq yaitu: bila bisikan-bisikan jiwa itu datangnya dari syaithon disebut was-was, jika muncul dari hawa nafsu disebut hawajis. Dan bila datangnya dari malaikat disebut ilham. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah SWT disebut Khatir Haq atau bisikan kebenaran. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 
Gholib, Achmad. Pendidikan Akhlak Dalam Tataran Masyarakat Islami. Jakarta: Berkah Ilmu, 2017. 
Sodiq, Akhmad. Tema Pokok Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Jakarta: Kencana, 2018. 
Al-Ghazali. Mutiara Ihya’Ulumuddin: Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang Hujjatul Islam. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008. 
Mujib, Abdul. Menelusuri kearifan psikologi timur dengan menjadikan quontum learning islami sebagai ilustrsinya.”Jurnal ilmiah psikologi”. Volume 2, No. 1, Agustus 2009. 
Gus Sentot. Al-Khawatir. (sumber:https://tasawufkemurnianislam.blogspot.com /2009/09/al-khawatir.html). 2009. 
Hakim. Terminologi Tasawuf (Istilah Kata-Kata Dalam Bahasa Tasawuf). (Sumber:https://ashakimppa.blogspot.com/2015/04/bab-2-21-al-khawathirbisikan-bisikan.html). 2015. 
 
 
__________________
[1] Akhmad Sodiq, Tema Pokok Pendidikan Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 28 
[2] Al-Ghazali, Mutiara Ihya’Ulumuddin: Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang Hujjatul Islam, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), hlm. 204 
[3] Abdul Mujib, Menelusuri kearifan psikologi timur dengan menjadikan quontum learning islami sebagai ilustrsinya, ”Jurnal ilmiah psikologi”, Vol. 2, No. 1, Agustus 2009, hlm. 4-5 
[5] Hakim, Terminologi Tasawuf (Istilah Kata-Kata Dalam Bahasa Tasawuf,. (Sumber: https://ashakimppa.blogspot.com/2015/04/bab-2-21-al-khawathirbisikan-bisikan.html), 2015.

Baca juga: Karya Tulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *