Makalah Akhlak Dalam Kegiatan Ekonomi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya dunia perekonomian, islam sudah sejak dulu membahas dunia perekonomian. Ini terbukti dari bangsa Arab yang melakukan kegiatan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Perekonomian sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, semakin banyak materi yang di miliki maka manusia itu akan hidup bahagia tapi di sisi lain moral islam mengarahkan pada kenyataan bahwa hak milik harus berfungsi sebagai pembebas manusia dari sifat materialistis.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Permasalahan ekonomi umat manusia yang fundamentalis bersumber dari kenyataan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan ini pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya, energi manusia dan peralatan materiil yang terbatas. Bila kita memiliki sarana yang tidak terbatas untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka masalah ekonomi tidak akan timbul.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari kegiatan ekonomi?
- Bagaimana pandangan islam tentang harta?
- Bagaimana pandangan islam tentang usaha atau bisnis seseorang?
- Seperti apa akhlak dalam kegiatan ekonomi dalam Islam?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk mengetahui, memahami dan menambah wawasan keilmuan tentang akhlak dalam kegiatan ekonomi dan untuk memenuhi tugas pendidikan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kegiatan Ekonomi
Kegiatan Ekonomi adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Definisi kegiatan ekonomi dapat juga diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai suatu tingkatan kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup. Secara umum, kegiatan ekonomi tersebut terdiri dari kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi[1].
B. Pandangan Islam tentang Harta
Harta didalam bahasa arab (Munawir, 1984) disebut al-mal atau jamaknya al-amwal. Harta (al-mail) menurut kamus Al-Muhith tulisan Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang dilegalkan menurut hukum syara’ (hukum islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibah atau pemberian (An-Nabhani,1990). Berdasarkan pengertian tersebut, maka seluruh apa pun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan-kelautan, dan pakaian termasuk dalam kategori al amwal, harta kekayaan[2].
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
- Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
- Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. : Ali Imran, 14).
- Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak. Sebagaimana firman Allah : “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar”(QS. : Al-Anfal, 28).
- Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah. Sebagaimana firman Allah : “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS : At-taubah, 41).[3]
C. Pandangan Islam tentang Usaha/Bisnis
Dalam KBBI bekerja secara etimologi ialah melakukan suatu pekerjaan (perbuatan). Dan secara terminologi, arti bekerja adalah suatu perbuatan, usaha, tindakan, atau aktivitas manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencapai suatu tujuan tertentu. Allah menciptakan segala kenikmatan melalui berbagai macam sumber daya alam. Dan bekerja adalah suatu kewajiban juga dalam hal memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebahagiaan manusia itu dan beribadah kepada-Nya. Dan Allah juga tidak memaksakan manusia untuk bekerja diluar kemampuannya. Hal ini diterangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَت
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. 2: 286)
Selain itu juga, bekerja harus didasari dengan keyakinan bahwa pekerjaan ialah amanah yang harus dipikul dan dikerjakan secara tuntas[4]. Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasi atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya[5].
Prinsip-prinsip etika bisnis menurut Islam:
- Melarang bisnis yang dilakukan dengan proses kebathilan.
- Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba.
- Kegiatan bisnis juga memiliki fungsi sosial baik melalui zakat dan sedekah.
- Melarang pengurangan hak atas suatu barang atau komoditas yang didapat atau diproses dengan media takaran atau timbangan karena merupakan bentuk kezaliman sehingga dalam praktek bisnis, timbangan harus disempurnakan.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan baik ekonomi maupun sosial, keselamatan dan kebaikan serta tidak menyetujui kerusakan dan ketidakadilan.
- Pelaku bisnis dilarang berbuat zalim (curang) baik bagi dirinya sendiri maupun kepada pelaku bisnis yang lain.
Rasulullah Saw memberikan petunjuk mengenai etika bisnis yang sangat banyak, di antaranya ialah:
- Kejujuran.
- Kesadaran tentang pentingnya kegiatan sosial dalam bisnis.
- Tidak melakukan sumpah palsu.
- Ramah-tamah.
- Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
- Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya.
- Tidak melakukan ihtikar.
- Takaran, ukuran dan timbangan yang benar.
- Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah.
- Membayar upah sebelum keringat karyawan kering.
- Tidak ada monopoli.
- Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial.
- Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb.
- Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.
- Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
- Memberi tenggang waktu apabila pengutang belum mampu membayar.
- Bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
D. Akhlak dalam Kegiatan Ekonomi
Dalam mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan adab dan etika yang membimbingnya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak hilang sirna sia-sia[6]. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam adalah:
- Niat yang Benar. Niat yang benar dalam hal ini adalah menginginkan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Niat baik untuk diri sendiri berupa menjaga diri dari mengkonsumsi harta yang haram, menjaga kehormatan sehingga tidak meminta-minta, menguatkan diri sehingga bisa melakukan ketaatan kepada Allah, menjaga jalinan silaturahmi, berbuat baik dengan kerabat dan niat-niat baik yang lain.
- Akhlak yang luhur. Di antara akhlak luhur yang sangat diperlukan dalam dunia bisnis adalah jujur, amanah, qana’ah, memenuhi janji, menagih hutang dengan bijak, memberi tempo untuk orang yang kesulitan melunasi hutangnya, memaafkan kesalahan orang lain, menunaikan kewajiban, tidak menipu dan tidak menunda-nunda pelunasan hutang.
- Bisnis dalam hal-hal yang baik saja. Allah telah menghalalkan yang baik-baik saja dan mengharamkan yang buruk-buruk bagi hamba-hamba-Nya. Seorang businessman muslim tidak akan keluar dari bingkai ini meski ada tawaran yang menggiurkan dalam bisnis yang haram.
- Menunaikan kewajiban. Kewajiban yang paling penting adalah kewajiban terhadap Allah dalam harta para orang kaya. Itulah zakat, setelah itu adalah sedekah dan berbagai sumbangan sosial.
- Menjauhi riba dan berbagai transaksi terlarang yang mengantarkan kepada riba
- Tidak memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar
- Komitmen dengan berbagai peraturan yang ada. Meski ada beberapa peraturan yang tidak sejalan dengan syariat Islam, businessman muslim akan semaksimal mungkin menghindari berbagai tindakan yang akan menyebabkannya mendapatkan hukuman, bukan karena meyakini bahwa makhluk memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan. Akan tetapi bertitik tolak dari kewajiban yang Allah tetapkan yaitu mencegah mafsadah (kerusakan) dan tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan.
- Tidak merugikan pihak lain. Bisnisman muslim adalah seorang yang kesatria dalam persaingan bisnis. Dia memiliki prinsip tidak merugikan pihak lain. Dia tidak akan mempermainkan harta untuk merugikan pihak-pihak lain. Dia tidak akan mematok harga yang tinggi karena memanfaatkan kebutuhan orang lain terhadap barang yang dia jual atau karena mengingat dia adalah produsen satu-satunya.
- Loyal dengan orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, businessman muslim tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan pihak-pihak yang secara terang-terangan menyatakan permusuhan dengan Islam dan kaum muslimin.
- Mempelajari hukum-hukum syar’i seputar muamalah. Diantara keyakinan setiap muslim adalah hukum-hukum syar’i itu mencakup semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, khalifah Umar mengusir pedagang yang tidak menguasai hukum jual beli dari pasar kaum muslimin.
Berikut adalah diantara beberapa sifat-sifat buruk dalam dunia kerja yang perlu dihindari dan diwaspadai:
- Hasad (Dengki). Hasad atau dengki adalah suatu sifat, yang sering digambarkan oleh para ulama dengan ungkapan “senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang”. Sifat ini sangat berbahaya, karena akan “menghilangkan” pahala amal sholeh kita dalam bekerja.
- Saling Bermusuhan. Tidak jarang, ketika orang yang sama-sama memiliki ambisi dunia berkompetisi untuk mendapatkan satu jabatan tertentu, atau ingin mendapatkan “kesan baik” dimata atasan, atau sama-sama ingin mendapatkan proyek tertentu, kemudian saling fitnah, saling tuduh, lalu saling bermusuhan. Jika sifat permusuhan merasuk dalam jiwa kita, dan tidak berusaha kita hilangkan, maka akibatnya juga sangat fatal, yaitu bahwa amal shalehnya akan “dipending” oleh Allah SWT, hingga mereka berbaikan.
- Berprasangka Buruk. Sifat ini pun tidak kalah negatifnya. Karena ambisi tertentu atau hal tertentu, kemudian menjadikan kita bersuudzon atau berprasangka buruk kepada saudara kita sesama muslim, yang bekerja dalam satu atap bersama kita. Sifat ini perlu dihindari karena merupakan sifat yang dilarang oleh Allah SWT. & Rasulullah SAW, disamping juga bahwa sifat ini merupakan sifat yang membuka pintu gerbang ke sifat negatif lainnya.
- Sombong, Disisi lain, terkadang kita yang mendapatkan prestasi sering terjebak pada satu bentuk kearogasian yang mengakibatkan pada sifat kesombongan. Merasa paling pintar, paling profesional, paling penting kedudukannya dan posisinya di kantor. Kita harus mewaspadai sifat ini, karena ini merupakan sifat setan yang kemudian menjadikan mereka dilaknat oleh Allah SWT serta dijadikan makhluk paling hina diseluruh jagad raya ini.
E. Akhlak Mentasarufkan Harta
Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama. Allah Swt berfirman, “dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Nahl: 89).
Dijelaskan juga tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”. (HR. al-Bukhari (no. 50) dan Muslim (1628).
1. Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta. Rasulullah SAW bersabda,
“tidak akan begeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban)tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”. (HR at-Tarmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tarmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan).
Hadist yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggung jawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu didunia.(Lihat kitab ‘Bahjatun naazhirinsyrhu riyaadhish shaalihin” (1/479).)
2. Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan. Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah SWT, sebagaimana dalam Firman-Nya:
“dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) ditengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan: 67).
Artinya mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (pertengahan). (kitab “Tafsir Ibnu Katsir”(3/433).
3. Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta. Sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau,
“sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”. (HR.Tirmidzi. no.23336, shahih).
Maksudnya menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
“sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan disisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. at-Tagaabun: 15)
4. Zuhud dalam Masalah Harta
Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Swt, akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Swt, tanpa adanya keterkaitan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dengan harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Swt.
5. Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantikannya, dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39)[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Kekayaan bukanlah tujuan pokok atau sasaran utama manusia di muka bumi, melainkan sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah, di mana ia wajib memanfaatkan kekayaan tersebut demi pengembangan segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusiaan manusia di segala bidang, baik moral maupun material. Jadi, peningkatan kekayaan demi realisasi tujuan utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, adalah sarana terbaik bagi akhirat. Tiada kebaikan bagi seseorang yang tidak berjuang mendapatkannya. Islam ingin agar seorang muslim berjuang meningkatkan kekayaan, menjadi tuan bagi kekayaannya itu, dan beroleh manfaat darinya. Islam tidak ingin seorang muslim menjadi budak hartanya dan melupakan tujuannya.
Perlu disadari, kekayaan duniawi dengan gemerlapnya yang sering melenakan hati, sesungguhnya tidak berharga sedikitpun di sisi Allah. Jadi, mengapa mesti menghinakan diri dengan menghambakan kepadanya, dan kenapa pula manusia seringkali mengeluh dan menyesal hanya lantaran ada sedikit harta yang hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Gholib, Achmad. Pendidikan Akhlak dalam Tantangan Masyarakat Islami. Jakarta: Berkah Ilmu, 2018.
Sholahuddin, M. Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.
https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-kegiatan-ekonomi.html. Pada jam 13:00 wib
https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-kegiatan-ekonomi.html. Pada jam 14.00 wib
https://www.kompasiana.com/erwin_erviana/58b147ff147b61810707203b/kerja-dalam-pandangan-islam?page=all
__________________
[1] Diambil dari https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-kegiatan-ekonomi.html. Pada jam 13:00 wib
[2] M.Sholahuddin,Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), cet. Ke-1, h.40.
[3] Achmad Gholib, Pendidikan Akhlak dalam Tantangan Masyarakat Islami,(Jakarta: Berkah Ilmu, 2018), h.91.
[4] https://www.kompasiana.com/erwin_erviana/58b147ff147b61810707203b/kerja-dalam-pandangan-islam?page=all, pada jam 14:00 wib.
[5] Achmad Gholib, Pendidikan Akhlak dalam Tantangan Masyarakat Islami, (Jakarta: Berkah Ilmu, 2018), h. 93
[6] Achmad Gholib, Pendidikan Akhlak dalam Tantangan Masyarakat Islami, (Jakarta: Berkah Ilmu, 2018), h.95.
[7] Achmad Gholib, Pendidikan Akhlak dalam Tantangan Masyarakat Islami,(Jakarta: Berkah Ilmu, 2018), h.101
Baca juga: Karya Tulis
Mohon maaf..
itu tolong diperbaiki , ada ayat Qur'an surat Al-Baqarah ayat 286 yang terbalik kalimatnya .
terimakasih banyak kak